Cari Berita

Breaking News

Dilema Bila Kepala Daerah Jadi Ketua KONI

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 02 Juli 2025


Oleh : Gunawan Handoko 
 
Beberapa kali saya dihubungi rekan wartawan senior, meminta tanggapan atas kemelut yang terjadi di organisasi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Bandarlampung pasca diselenggarakannya Musyawarah Olahraga Kota (Musorkot) Bandarlampung pada 19 Maret 2025 lalu. Dalam musorkot tersebut, Eva Dwiana terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum KONI Bandarlampung periode 2025 – 2029, namun dianulir alias dibatalkan oleh KONI Pusat.

Jujur, saya agak terkejut, karena selama ini kurang informasi terkait kabar tersebut. Dari rekan wartawan senior tersebut saya mendapat penjelasan bahwa Eva Dwiana yang juga Walikota Bandarlampung terpilih menjadi Ketua Umum KONI Bandarlampung melalui sistem ex officio. Pasalnya, Bunda Eva sudah menjabat Ketua selama 2 periode berturut-turut dan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) KONI tidak bisa lagi mencalonkan diri menjadi Ketua. Lalu, atas terpilihnya Eva Dwiana untuk periode ke-3 melalui sistem ex officio tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KONI Provinsi Lampung Budhi Darmawan mengajukan permohonan pendapat ke KONI Pusat.
 Hasilnya, KONI Pusat melalui surat Nomor: 39/ORG/V/2025 tanggal 14 Mei 2025 membatalkan hasil Musorkot KONI Bandarlampung. 

Tanpa bermaksud mencampuri permasalahan yang sedang mendera kepengurusan KONI Kota Bandarlampung, sebagai orang yang pernah bergabung dalam kepengurusan KONI Provinsi Lampung, saya hanya ingin membuka kembali kandungan AD/ART yang menjadi pedoman organisasi dan wajib untuk dihormati.

Dijelaskan bahwa masa jabatan Ketua Umum KONI adalah 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 periode berikutnya, sehingga total maksimal 2 periode berturut-turut, tidak boleh lebih. 

Seseorang yang sudah menjabat Ketua KONI selama 2 periode berturut-turut tidak dapat dipilih kembali untuk periode selanjutnya, dan ketentuan ini berlaku untuk semua tingkatan kepengurusan KONI, dari tingkat Pusat sampai Kabupaten/Kota. Pembatasan ini bertujuan untuk memastikan adanya regenerasi kepemimpinan dan mencegah terjadinya stagnasi dalam organisasi. 

Penyegaran organisasi itu penting, dengan memberikan kesempatan bagi kader-kader lain untuk berkontribusi dalam kepengurusan KONI. Jangan sampai kaderisasi dalam organisasi KONI tidak berjalan akibat bertahannya pengurus lama hingga puluhan tahun, dari periode ke periode. 

Barangkali, karena Bunda Eva terganjal oleh aturan tersebut, karena sudah menjabat Ketua selama 2 periode, maka digunakan sistem ex officio agar bisa mencalonkan dan dipilih kembali untuk periode ke-3. Sistem ex officio berarti jabatan tersebut ‘secara otomatis’ diberikan kepada pejabat tertentu berdasarkan jabatannya, seperti halnya yang terjadi dalam Musorkot KONI Bandarlampung. Tujuannya (mungkin) agar dapat memberikan perhatian khusus pada pembinaan olahraga di Kota Bandarlampung, karena pejabat yang menjabat Ketua KONI juga memiliki kewenangan dalam pengelolaan keuangan di daerah. 

Pertanyaannya adalah, apakah dengan sistem ex officio ini dijamin dapat meningkatkan dukungan dan perhatian pemerintah daerah terhadap olahraga? Yang dikhawatirkan justru pejabat tersebut tidak memiliki waktu dan keahlian yang cukup untuk mengelola KONI dengan baik. Bukan itu saja, sistem ex officio juga akan merusak netralitas dan independensi organisasi olahraga, terutama dalam kaitannya dengan kepentingan politik dan birokrasi. 

Ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan pemerintah akan membuat kemandirian KONI menjadi terancam. Maka, untuk menjaga kemandirian dan profesionalisme KONI, peran politik dan olahraga sebaiknya dipisahkan. KONI harus tetap independen karena fungsinya adalah membantu pemerintah dalam membina olahraga prestasi. Apabila Kepala Daerah menjabat sebagai Ketua KONI, dikhawatirkan ada resiko politisasi olahraga, dimana prestasi olahraga digunakan untuk mendapatkan pencitraan politik, mengalihkan perhatian dari peningkatan prestasi olahraga. 

Selain itu, ada konflik kepentingan karena Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi olahraga dan pengambil kebijakan Pemerintah, yang kemungkinan dapat mengganggu transparansi dan independensi anggaran. Dan lagi, apakah Kepala Daerah memiliki waktu dan perhatian yang cukup untuk mengurus organisasi, mengingat banyaknya tanggungjawab yang harus diselesaikan? 

Terkait hal ini, barangkali kita bisa mencontoh sikap Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal yang tidak bersedia mengikuti para pendahulunya untuk menjadi Ketua Umum KONI Lampung pada Musorprovlub beberapa waktu lalu. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan tidak ada pasal yang secara eksplisit melarang Kepala Daerah untuk menjabat sebagai Ketua Umum KONI. Iyai Mirza ingin fokus menjalankan tugasnya sebagai Gubernur Lampung dan Kepala Daerah, mengingat banyaknya tanggungjawab yang harus diselesaikan. 

Untuk pembinaan prestasi atlet ke depan diserahkan dan menjadi tanggungjawab KONI Lampung dan pengurus cabang olahraga masing-masing.

Saatnya semua pihak, khususnya insan olahraga di Kota Bandarlampung untuk melakukan pembaharuan dengan menjadikan KONI sebagai organisasi mandiri dan dikelola secara profesional oleh pengurus yang memiliki integritas dan berpengalaman dalam keolahragaan. KONI juga harus independen karena tugasnya adalah membantu Pemerintah dalam membina olahraga prestasi. 

Terlebih dengan terbitnya Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) Nomor: 14 Tahun 2024 yang menuntut KONI harus bekerja keras dalam mencari dana. Jika selama ini pendapatan dana yang diperoleh KONI paling banyak atau paling besar berupa hibah dari APBD untuk membiayai semua kegiatan, maka kedepan tidak bisa lagi.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (5) Permenpora Nomor: 14 Tahun 2024, pemberian kompensasi berupa gaji bagi tenaga profesional tidak bisa menggunakan dana yang berasal dari bantuan hibah APBN maupun APBD, melainkan dengan dana yang berasal dari sponsor, kegiatan industri olahraga, iuran anggota, CSR, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat. 

Maka KONI perlu mempersiapkan diri sebagai organisasi yang mandiri, sebelum Permenpora Nomor: 14 Tahun 2024 tersebut berlaku secara efektif. Berikan kesempatan kepada Walikota Bandarlampung agar lebih fokus dengan tanggungjawabnya untuk menyelesaikan program kerjanya dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Jangan dibebani dengan tugas tambahan sebagai Ketua KONI Bandarlampung, karena masih banyak tokoh dan insan-insan olahraga yang mampu untuk mengurusinya.  

Salam Olahraga !!!
*) Penulis: Pemerhati Olahraga, mantan Pengurus KONI Provinsi Lampung.

LIPSUS