Oleh, Dalem Tehang
“WAH, rupanya terdakwa punya kesempatan untuk mengetik pledoinya ya. Jarang-jarang ada terdakwa yang bisa seperti ini. Biasanya tulis tangan saja. Kalau bisa mengetik pledoi rapih begini, berarti terdakwa punya hubungan baik dengan pihak rutan,” kata seorang anggota majelis hakim setelah menerima kertas pembelaan pribadiku. Ada senyum sinis di sudut bibirnya.
Aku hanya tersenyum dan menatap sesaat kepada anggota majelis hakim tersebut. Tetap memprioritaskan menjaga ketenangan batin, adalah hal utama bagiku. Juga kesopan-santunan dalam bersikap selama mengikuti persidangan.
Ketua majelis hakim mempersilakan aku membacakan pledoi pribadi. Dengan runtut, aku ungkapkan peristiwa yang sebenar-benarnya.
Hingga sampai kepada pokok perkara, bahwa aku tidak pernah menerima apapun dari Yudi. Karena yang berhubungan denganku adalah Anom. Juga menguraikan, bila aku sama sekali tidak pernah mengetahui adanya kerja sama antara Yudi dengan Anom.
Seiring berjalannya waktu, apa yang aku terima dari Anom telah terkembalikan. Bahkan lebih dari yang sebenarnya pernah aku terima. Namun, Anom ternyata “bermain” dengan Yudi.
Anom yang saat itu masih dalam status napi penerima pembebasan bersyarat, memintaku menandatangani sebuah surat pernyataan peminjaman uang dari Yudi. Yang disaksikan notaris. Dengan alasan statusnya yang masih belum bebas murni bisa membuatnya kembali masuk bui jika tersangkut sebuah perkara pidana.
Anom menunjukkan sebuah sertipikat tanah pribadinya sebagai jaminan untuk mengganti dana yang diterimanya dari Yudi. Atas dasar kepercayaan dari sebuah pertemanan, aku pun menandatangani surat pernyataan sesuai permintaan Anom.
Dalam perjalanan, Anom justru bergandengan tangan dengan Yudi, dan memiliki target menjeratku masuk penjara. Disertai dengan hadirnya beberapa pihak lain yang mendompleng, memuaskan hasratnya untuk membuatku terpuruk.
“Dan saya dengan sungguh-sungguh mengakui, memang menandatangani surat pernyataan tersebut. Namun, saya sama sekali tidak pernah menerima apapun dari Yudi sebagaimana isi di dalam surat pernyataan. Melalui kesempatan ini, saya mengakui kesalahan dan keteledoran tersebut. Oleh karenanya, dari yang paling dalam saya meminta majelis hakim untuk memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya dan bila saya dinyatakan bersalah, berkenan memberikan hukuman yang seringan-ringannya,” tuturku, membacakan akhir pledoi.
Beberapa kali suaraku tercekat ketika membacakan pembelaan pribadi sebanyak lima lembar tersebut. Terutama saat menyampaikan permohonan maaf kepada istri, anak-anak, juga keluarga besarku. Dimana mereka semua turut merasakan dampak yang sangat luar biasa terpuruknya atas persoalan yang menjeratku ini.
Selepas aku menyampaikan pembelaan pribadi, majelis hakim mempersilakan pengacaraku untuk membacakan pledoinya. Dengan bergantian, Makmun dan timnya menguraikan panjang lebar pembelaan atas kasus yang membuatku menjadi penghuni sel rutan ini.
Sekira 30 menit, Makmun dan timnya secara bergantian menguraikan pembelaan atas dakwaan dan tuntutan jaksa. Dan seusai tim pengacaraku membacakan dilanjutkan dengan menyerahkan pledoinya kepada majelis hakim, juga jaksa penuntut umum, ketua majelis hakim memberi waktu tiga hari bagi jaksa untuk menyampaikan tanggapan atau replik.
“Mohon izin, Yang Mulia. Bila berkenan, kami bisa diberi waktu satu minggu untuk menyiapkan replik,” kata jaksa wanita, seraya berdiri dari kursinya.
“Perlu diketahui, waktu penahanan untuk terdakwa tinggal 15 hari lagi. Dengan replik tiga hari ke depan, ditambah tiga hari lagi untuk pembacaan vonis, dan waktu satu minggu bila mengajukan banding, berarti tersisa dua hari lagi masa penahanan terdakwa. Jika melewati batas waktu penahanan, terdakwa bebas demi hukum. Jadi, majelis hakim telah merancang proses persidangan ini dengan baik, jangan dirusak di tengah jalan,” kata ketua majelis hakim, dengan nada serius.
“Siap kalau demikian, Yang Mulia. Tiga hari ke depan kami akan menyampaikan replik atas pledoi terdakwa dan pengacaranya,” jawab jaksa, seraya membungkukkan badannya. Memberi hormat.
Setelah memastikan tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, ketua majelis hakim menutup sidang. Aku segera berdiri dan menyalami ketiga hakim, baru beranjak kembali ke tempat istriku dan Laksa duduk.
Namun, baru saja menaruhkan badan di kursi panjang yang terbuat dari kayu tersebut, pegawai kejaksaan yang bertugas mengawal tahanan, mendekatiku. Mengajak untuk segera kembali ke ruangan semula.
Berjalan bersama istriku Laksmi dan Laksa, aku dikawal pegawai kejaksaan menuju ke ruangan khusus yang ada pada bagian belakang gedung Pengadilan Negeri. Tidak lama kemudian, Makmun dan timnya datang.
“Kayaknya jadwal sidang dipaksain bener ya, karena masa penahanan sudah mau habis,” tanya Laksa kepada Makmun.
“Yah, memang begitu kenyataannya. Kelihatan sekali kasus ini dipaksain harus segera vonis. Semoga aja majelis hakim tetep bisa berlaku adil,” jawab Makmun, dengan senyum kecut.
“Intinya kan jangan sampai kakak bebas murni, gitu ya,” lanjut Laksa, penasaran.
“Sejak awal persidangan sudah kebaca sebenernya. Tapi, kita nggak ada pilihan selain ikuti semua prosesnya. Banyak-banyak berdoa aja kita semua. Berharap majelis hakim diberi hidayah untuk mengambil keputusan yang adil,” kata Makmun lagi, tetap dengan senyum kecutnya.
Setelah berbincang beberapa saat dan berpesan agar aku tetap tenang dan terus menjaga kesehatan, Makmun dengan timnya berpamitan. Aku mengajak Laksa solat Ashar berjamaah di ruang transit tersebut. Dan kemudian istriku mengeluarkan beberapa makanan kecil yang dibawanya.
“Ayah nggak usah gentar ya. Kan sudah nyampein kebenaran. Itu yang penting, biar ayah terlepas dari peradilan akherat. Serahin aja semuanya sama Tuhan. Ikuti alur takdir-Nya dengan ikhlas. Kami semua tetep sabar dan ikhlas, apapun nanti keputusan hakim terhadap ayah,” ujar istriku, memegang tanganku erat-erat.
“Terimakasih atas semuanya ya, bunda. Inshaallah, ayah tetep tegar juga sabar dan ikhlas kok,” jawabku, dan memeluk Laksmi dengan kencang.
Kami bertiga terus berbincang ringan. Namun, istriku mengalihkan topik pembicaraan. Tidak lagi mengenai perkaraku yang telah mendekati final. Melainkan lebih kepada kegiatan dia dan Laksa di kantornya masing-masing, juga tentang anak-anak yang masih menjalani masa ulangan di sekolahnya.
“Ayah kan sudah pegang hp lagi sekarang, mbok iyo sempetin hubungi anak-anak to. Mereka pasti nambah semangatnya kalau dapet support dari ayah,” ujar istriku, mengingatkan.
“O, kakak sudah aktif lagi ya hp-nya. Tetep nomer yang lama kan,” kata Laksa, menyela.
“Iya bunda, nanti malem ayah hubungi anak-anak. Alhamdulillah, ada kemudahan, dek. Kakak dikasih kepercayaan sama bos-bos di rutan buat pegang hp lagi,” jawabku.
“Alhamdulillah, tetep ada kemudahan ya, kak. Tapi tetep hati-hati lo, kak. Pasti ada aja yang iri dan buat rencana macem-macem kalau kakak teledor,” ujar Laksa, mengingatkan.
“Inshaallah, kakak makin cermat, dek. Terus saling doa ya. Kita nggak pernah tahu, doa siapa yang bisa langsung nembus ke langit,” lanjutku.
Selama kami berbincang, terus ku peluk istriku. Terasa begitu damai jiwaku. Sesuatu yang amat sulit aku temukan saat menapakkan kaki memasuki area rumah tahanan. (bersambung)

