Oleh, Dalem Tehang
AKU masih berbincang santai di ruang depan kamar sel bersama kawan-kawan, setelah sebelumnya berolahraga rutin mengelilingi lapangan sepakbola, ketika seorang tamping regis datang.
Tamping berpostur gemuk pendek yang tersangkut kasus narkoba itu, memberitahu bila jadwal sidangku yang semestinya besok, dimajukan hari ini.
“Yang bener, udah dipastiin apa belum. Nanti nggak tahunya salah kayak dulu. Bukan apa-apa, ngotor-ngotori baju aja sudah ke pengadilan nggak tahunya salah kalian ngetik jadwalnya,” kataku, menanggapi pemberitahuan tamping tersebut.
“Nggak salah kalau ini, pakde. Tadi kami sudah konfirmasi ulang ke Kejaksaan Negeri setelah dapet surat pemberitahuannya, emang jadwal sidang pakde dimajuin. Atas permintaan majelis hakim, karena mereka besok ada rapat kerja. Semua agenda sidang besok, dimajuin hari ini,” jelas tamping itu dengan wajah serius.
“Jadi, aku juga sidang ya?” tanya Teguh, yang tengah duduk santai di sebelahku.
“Iya, semua yang sebelumnya dijadwalin besok, dimajuin hari ini. Makanya ada 87 orang yang harus ke pengadilan, dan semua sudah kumpul di pos jam 10.30,” lanjut tamping itu.
“Waduh, gimana ya. Bajuku masih belum dicuci. Ada-ada aja sih. Urusan penting gini dibuat dadakan semaunya,” celetuk Teguh, dengan wajah kebingungan.
“Itu sih masalah kamu, tugasku cuma nyampein aja,” sahut tamping tersebut, dan bergerak meninggalkan jeruji besi kamar kami.
“Sialan tamping itu, ngomong asal nyeplos aja,” sahut Teguh yang spontan berdiri dari duduknya. Tampak raut wajahnya menyimpan letupan amarah.
“Ngapain naik darah gitu, Guh. Santai aja ngadepi apa-apa. Pikirin aja gimana dapet pinjeman baju buat sidang, itu lebih penting ketimbang kesel nggak karuan,” kata pak Waras, menenangkan.
Kap Yasin yang semula duduk di ruang dalam, masuk ke ruang depan dan membuka lokernya. Mengambil selembar kemeja warna putih dan memberikannya kepada Teguh.
“Coba kamu pakai ini. Kalau pas, pakai aja buat sidang nanti,” kata kap Yasin.
Teguh langsung mencoba baju yang diberikan kap Yasin. Dan ngepas dengan badannya.
“Pas, kap. Alhamdulillah. Ada aja pertolongan Tuhan. Terimakasih ya, kap,” ujar Teguh, seraya tersenyum. Bungah.
“Makanya, jadi orang itu jangan grusa-grusu, Guh. Kita ini sudah jadi keluarga, pasti saling bantu dan saling jaga. Kalau pun di kamar ini nggak ada yang punya baju buatmu sidang, aku pasti cariin ke kamar-kamar lain. Slow ajalah,” tutur kap Yasin dengan nada kalem.
“Om Mario ada masalah nggak?” tanya pak Ramdan, menatapku.
“Alhamdulillah, nggak pak. Masih ada satu baju putihku. Tinggal minta tolong Anton disetrikain dulu di kamar pak Edi, biar lebih rapih dan bekas lipetannnya nggak ketara amat,” jawabku, dengan santai.
“Siap, om. Bawa sini bajunya,” kata Anton yang langsung menyambut.
Aku pun mengambil kemeja warna putih lengan panjang yang ada di dalam loker dan memberikannya kepada Anton. Juga menyerahkan uang sebagai biaya untuk menyetrikanya.
“Uangnya nggak usah, om. Kawan yang ngerjainnya nggak mau terima uang dari om. Malah dia bilang, kapan aja om pengen setrika pakaian, dia siap kerjainnya,” ujar Anton, menolak uang yang aku berikan sebagai imbalan menyetrika pakaian.
“Kenapa gitu, Ton. Kegiatan ini kan usaha dia dapetin biaya buat hidup disini,” tanggapku.
“Nggak tahu pastinya kenapa aku, om. Cuma dia bilang gitu pas aku minta setrikain baju om waktu itu,” jawab Anton.
Segera aku membersihkan badan dan menyiapkan keperluan untuk menghadiri sidang. Dan mengaktifkan telepon seluler untuk menghubungi istriku.
“O, jadi sidangnya dimajuin ya, ayah. Syukur kalau gitu. Pembelaan ayah juga sudah diketik sama anak-anak semalem, dan bunda bawa, ada di mobil. Ya sudah, nanti kita ketemu di pengadilan ya, ayah. Bunda mau hubungi adek Laksa, biar dia ngatur waktu dengan kegiatan kantornya. Bunda juga mau ngatur staf dulu untuk hadir di kegiatan siang nanti ngewakili bunda,” tutur istriku.
Selepas berbincang dengan istriku Laksmi, aku menghubungi pengacara, Makmun. Ia mengaku telah diberitahu jaksa penuntut umum bila jadwal sidang dimajukan hari ini.
“Pledoi sudah siap kok, mas. Tinggal nanti disampein aja. Mas juga sudah buat pembelaan pribadi kan,” ujar Makmun.
“Alhamdulillah kalau pledoinya sudah siap. Pembelaan pribadi juga sudah oke kok. Bahkan sudah diketik dan di-print sesuai kebutuhan,” jelasku.
Waktu berlalu begitu cepat, aku segera mengajak Teguh keluar kamar untuk bergabung dengan warga binaan lain yang akan mengikuti persidangan di pos penjagaan dalam.
“Babe sudah bawa belum pembelaan pribadi yang dibuat kemarin?” tanya pak Waras, saat aku akan keluar kamar.
“Sudah, pak. Ada di kantong. Istriku juga sudah siapin yang diketik dan di-print. Alhamdulillah semua sudah siap. Mohon doanya ya,” sahutku, dan menyalami “sang suhu” yang wajahnya selalu dihiasi senyuman tersebut.
Sesampai di pos penjagaan dalam, aku dan Teguh langsung melapor dan mengisi absen untuk mengikuti sidang di Pengadilan Negeri. Tamping regis tampak sangat sibuk memanggil para warga binaan yang akan mengikuti sidang hari itu. Tepat pukul 10.30, kami bergerak. Berjalan menuju gerbang pemisah area steril dengan pos penjagaan luar.
Proses pengabsenan ulang berlangsung singkat, dan kami memasuki ruang P-2-O. Berbaris rapih, kami diperiksa badan satu-persatu. Dalam pengawasan ketat petugas pengamanan, bukan saja dari internal rutan tetapi juga dari Kejaksaan Negeri dan Polri.
Petugas yang berdiri di pintu utama rutan, memanggilku sebagai orang pertama menaiki mobil tahanan yang ada di depan gerbang. Diikuti Teguh, dan beberapa orang lainnya. Dua kendaraan tahanan yang relatif kecil, mengangkut 87 warga binaan. Suasananya benar-benar sumpek. Saling pangku antar-sesama. Banyak juga yang terpaksa duduk di lantai mobil. (bersambung)

