-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 273)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 30 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


OWALAH, abang sama Aris masih sidang ya. Yunior bener ternyata mereka berdua ini dibanding kita,” kata Bos, saat mendengar Aris mengajakku bersiap untuk mengikuti persidangan di kantor Pengadilan.


“Bener itu, Bos. Sebenernya mereka berdua belum layak duduk bareng kita-kita yang senior ini ya,” tanggap pak Sibli, dan tertawa ngakak.


“Kalau di sekolah kedinasan, mereka harusnya berdiri dengan sikap sempurna di belakang kita. Sampai kita suruh mereka pergi,” sambung Bos, juga tertawa ngakak.


“Terserah mau dibilang yunior atau anak kemarin sore. Yang jelas, kita sama-sama kost di rutan ini,” ujar Aris, dan menebar tawanya.


“Tapi tenang, Ris. Tadi kan Bos sudah bilang, kalau kita disini sudah jadi saudara. Jadi, nggak usah takut sama ke-yunior-an kamu. Tetep kok kami semua nerima kamu sebagai saudara. Jangan nangis ya,” Iyos menyela, dengan tersenyum.


“Sudah ah, aku pamit dulu. Mau mandi, terus siap-siap. Ketimbang nanti tamping regis dateng ke kamar, aku belum apa-apa. Kalau dia tegor, kan nggak enak juga,” kata Aris, dan langsung menyalami kami satu demi satu. Selanjutnya ia beranjak pergi. Kembali ke kamarnya. Kamar 12.


“Oke kalau gitu. Ketertawaan kita akhiri sampai disini. Selamat bersidang ya, bang. Nikmati perjalanan dan situasi di luar rutan, itu yang lebih penting dibanding mikirin sidangnya,” ujar Bos, seraya memandangku, dan kemudian berpamitan juga.


Setelah Iyos dan pak Sibli meninggalkan kursi taman, Rudy keluar kamar. Membersihkan meja dan bekas kami makan. Aku segera mandi. Dan memakai kaos daleman tanpa lengan. Menunggu saatnya dipanggil tamping regis untuk berkumpul di pos penjagaan dalam, baru mengenakan kemeja putih, celana dasar hitam, berkopiah, dan bersepatu. 


Sambil duduk santai di ruang depan, aku isi waktu dengan merapihkan kuku tangan dan kaki. Menggosoknya dengan alat untuk meng-kinclong-kan. Sampai kemudian aku dikejutkan dengan sebuah suara pukulan di jeruji kamar. Ternyata Dika yang melakukannya.


“Ngapain kamu pakai pukul-pukul jeruji itu, Dika,” ucapku sambil menatapnya.


“Ngagetin abang aja. Dari tadi kelihatannya serius bener ngurusin kuku itu. Kayak mau pentas aja,” sahut Dika, dan bergerak masuk ke kamar. Duduk di sebelahku.


“Kita kan jarang-jarang keluar, Dika. Jadi, pas keluar, dan ketemu sanak saudara, juga jaksa dan hakim, atau siapapun penonton sidang, ya nggak ada salahnya kalau tetep jaga penampilan. Jangan mentang-mentang tahanan, tampilan jadi kusut nggak karuan,” kataku, terus menggosok kuku jari tangan dengan serius. 


“Bener juga ya, bang. Abang yang sudah tua aja masih jaga penampilan, aku yang bujangan kok malah nggak mikir kesitu. Padahal, nanti tunanganku mau dateng juga ke pengadilan,” ujar Dika, dengan santai.


“Kok tunangan sih, Dika? Bukannya kata kamu sudah bubaran tunangannya. Sekarang jadi mantan tunangan,” kataku, menyela.


“Ya, emang resminya sudah bubaran, bang. Tapi abang lihat sendiri kan, cewek itu rajin besukin aku disini. Berarti dia masih mau lanjutin hubungan. Ya nggak salah juga kalau aku nganggepnya tetep tunanganku,” jelas Dika.


“Eh, Dika. Coba kamu telaah lagi ya. Mulai dari kenapa dia batalin pertunangan kalian. Terus kenapa atau gimana pembawaannya kalau besuk kamu. Apa pesen-pesennya, dan sebagainya. Baru kamu simpulin, apa bener dia mau baikan lagi atas nama cinta, atau cuma sekadar kasihan aja sama kamu,” uraiku dengan serius.


“Yah, abang. Malahan ngajak aku ngebangunin lagi kecewa yang sudah ku pendem dalem-dalem di hati. Biar abang tahu aja ya. Aku nggak mau mikirin dia rajin besukin itu karena kasihan atau masih sayang. Buatku, yang penting dia dateng, dan itu hiburan buatku,” tanggap Dika dengan tegas.


“Ya syukur kalau kamu sudah punya sikap gitu, Dika. Karena abang nggak mau kamu timbul harapan besar sama dia. Bukannya nggak boleh, tapi kita harus pahami bener posisi kita saat ini,” kataku.


“Maksudnya, mimpi aja kalau bisa jangan ya, bang. Kalau sesekali ngehayal, nggak masalah,” ujar Dika, menyela dengan cepat. Dan tertawa.


Aku pun tertawa dengan ekspresi Dika yang spontan dan apa adanya. Anak muda yang tersangkut kasus kepemilikan ganja ini, memang berpembawaan ceria. Meski dalam kehidupannya ditempa oleh kerasnya sebuah perjuangan. Dan atas nama berbalas budi dengan pakleknya, ia pun memasang badan hingga masuk penjara demi menyelamatkan keponakannya. 


“Aku kesini sebenernya ada perlu, bang. Mau pinjem kaos kaki. Paklekku cuma bawain sepatu aja, nggak ada kaos kakinya,” kata Dika, beberapa saat kemudian.


Tanpa menjawab, aku langsung membuka lemari pakaian. Aku ambil sepasang kaos kaki yang tersusun di sudut lemari, dan memberikan kepada Dika. 


“Pakai aja ini, Dika. Nggak usah minjem. Abang kasih untuk kamu. Tapi habis sekali dipakai, langsung dicuci. Jadi tetep bersih dan sehat kaki kita kalau pakainya lagi,” kataku dengan serius.


“Alhamdulillah. Emang kalau rejeki anak soleh itu nggak ada berhentinya,” jawab Dika, dan tersenyum manis.


Seorang tamping regis datang. Dari balik jeruji besi, ia menyampaikan, semua yang akan sidang harus segera ke pos penjagaan dalam, karena sebelum jam 12 harus sudah berangkat ke kantor Pengadilan.


“Kenapa kok buru-buru gitu ya? Kan sidangnya juga di atas jam 13-an,” kataku.


“Banyak yang sidang hari ini, pakde. Jadi sebelum dhuhur, harus berangkat. Nanti pakde solatnya di sel pengadilan aja,” jelas tamping itu, dan kemudian berjalan ke kamar lain tempat tahanan yang hari itu terjadwal mengikuti persidangan.


Andika langsung berpamitan untuk menyiapkan dirinya, pun memberitahu Aris yang satu kamar dengannya. Aku juga buru-buru berpakaian khas peserta sidang. Dengan membawa buku kecil, pulpen, kacamata baca, dan sebungkus rokok beserta koreknya, aku keluar kamar. Menuju pos penjagaan dalam. 


“Om, nanti cateringnya Rudy makan aja ya. Setengahnya dikirim ke om Ino,” kata Rudy, yang sengaja menemui saat aku melewati ruang pintu masuk Blok B. Saat itu, ia tengah menonton siaran televisi bersama beberapa tahanan lainnya.


“Ya udah, atur aja, Rud. Doain ya,” sahutku, pendek.(Bersambung)

LIPSUS