Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI tahlilan di kamar 12, aku dan Rudy segera kembali ke kamar. Badanku yang masih belum pulih benar, membuatku tidak ingin berlama-lama di luar kamar. Apalagi malam itu, turun hujan meski rintik-rintik.
Rudy menyiapkan makan malam buatku. Satu mangkok berisi bubur dengan lauk suwiran daging bebek goreng kecap buatan istriku, Laksmi. Dia sendiri memakan nasi catering langgananku, berbagi dengan Ino. Dan setelah meminum obat, aku kembali ke kasurku.
Karena kantuk belum begitu berat, aku sempatkan menulis di buku catatan harian. Rudy yang menemaniku, duduk bersandar di tembok seraya membaca buku. Kami sama-sama asyik dengan kegiatan masing-masing. Hingga kantuk datang, dan aku pun tidur.
Suara burung yang berkicau dengan riangnya, membangunkanku. Matahari hampir tampak di ufuk timur. Buru-buru aku ke kamar mandi, wudhu dan solat Subuh. Dan setelah berdoa, kembali merebahkan badan.
“Maaf, om. Rudy kesiangan,” kata Rudy, yang baru saja bangun dari tidurnya.
“Buru-buru subuhan aja, Rud. Nanti dulu urusan yang lain,” jawabku.
“Tapi matahari kayaknya sudah mulai kelihatan lo, om. Apa sah subuhan sekarang,” ujar Rudy, sambil menatapku yang kembali tiduran di kasur.
“Nggak usah mikirin sah nggaknya, apalagi diterima apa nggaknya solat kita. Karena itu hak Allah. Kamu kan bener-bener baru bangun, jadi langsung solat aja. Itu yang penting,” kataku lagi.
Rudy masuk ke kamar mandi, berwudhu. Dan tidak lama kemudian, tampak ia solat di ruang kecil antara ruang depan dan ruang dalam tempat lantai untuk tidur.
Beberapa saat kemudian, ia telah memasak air di teko listrik. Membuatkan aku minuman makanan sehat, Energen. Dan membawa satu bungkus roti, diletakkan di samping kasurku. Ia sendiri membuat kopi manis.
“Kok kita bisa sama-sama kesiangan bangunnya ya, om. Suara adzan nggak kedengeran sama sekali,” kata Rudy, setelah duduk di samping tempat tidurku sambil menikmati kopi dan roti.
“Semaleman kita dikasih nikmat nyenyak tidur, Rud. Tapi, tetep dibangunin untuk solat. Jadi, ya tetep disyukuri aja. Nggak usah dimasalahin,” sahutku dengan enteng.
“Iya juga ya, om. Yang penting kan, urusan sama Tuhan tetep bisa kita jalani. Inilah Rudy senengnya sama om, nanggepin apa-apa dengan santai,” ucap Rudy, seraya tersenyum.
Saat kami masih berbincang, terdengar suara salam di depan pintu. Rudy buru-buru bangkit dari duduknya.
“Waalaikum salam, oalah om Hadi to. Masuk om. Itu om Mario lagi geletak di kasurnya, masih males-malesan,” terdengar suara Rudy dari ruang depan.
“Lagi males-malesan apa kurang enak badan ini, pak,” kata pak Hadi, setelah menyalamiku dan duduk di lantai tempat tidur.
“Kayaknya sih dua-duanya, pak,” sahutku, sambil bangun dari rebahan dan menyandarkan badan di tembok.
“Tadi saya jogging, kok pak Mario nggak kelihatan. Makanya mampir kesini. Kalau badan lagi kurang fit, emang bagusnya istirahat,” kata pak Hadi, dengan gaya khasnya; ramah.
“Sudah beberapa hari ini penyakit bawaan kambuh, pak. Typus. Jadi harus bedrest. Juga makan nasi bubur,” jelasku, beberapa saat kemudian.
“O gitu. Kalau typus emang mesti banyak istirahat, pak. Ya sudah, sehatin badan dulu baru aktivitas lagi,” tutur pak Hadi.
Rudy menaruhkan secangkir kopi manis di depan tempat duduk pak Hadi. Pun menawarkan untuk sarapan mie instan.
“Boleh juga, Rud. Sesekali sarapan di kamar ini, asyik juga pastinya,” tanggap pak Hadi, sambil melepas senyumnya.
Beberapa saat kemudian, mie rebus sudah disajikan Rudy. Pak Hadi menikmati sarapan dengan terus berbincang ringan. Kerupuk kampung melengkapi sarapannya.
“Tapi kuat ke masjid kan, pak?” tanya pak Hadi.
“Beberapa hari ini solat di kamar aja sih, pak. Masih sering kliyengan kalau jalan. Tapi, nanti ya ke masjidlah, kan solat jum’at,” kataku.
“Nah, itu yang mau saya tanya. Kalau pak Mario sudah bilang gitu, berarti nggak ada masalah lagi. Tetep bisa jum’atan di masjid,” sahut pak Hadi dengan cepat.
Terdengar suara sepatu laras masuk ke dalam kamar. Kami sama-sama memahami, pasti sipir yang datang. Dan benar. Sipir Mirwan masuk sambil membawa satu bungkus kantong plastik.
“Ini aku bawain sarapan bubur ayam khas Manado buat om. Juga beberapa buah-buahan. Dan suplemen untuk ningkatin energi badan,” kata sipir Mirwan, dan meletakkan kantong plastik yang dibawanya ke dekat tempat tidurku.
“Alhamdulillah. Kalau ada pemilihan sipir teladan, pasti kamu yang aku usulin, Mirwan. Terimakasih banyak atas semuanya selama ini ya. Cuma Allah yang bisa bales kebaikanmu,” ucapku dengan rasa haru, dan menyalami sipir Mirwan dengan kedua tanganku.
“Santai aja sih, om. Ini emang rejeki om kok. Aku cuma ketitipan nganterin aja. Lagian, kalau ada pemilihan sipir teladan, pasti cuma om sendiri yang milih aku,” tanggap Mirwan, dan kemudian tertawa ngakak.
“Ini yang aku suka sama Mirwan, pak Hadi. Keikhlasannya itu luar biasa. Tawadhu’nya aku kagumi. Semua yang terjadi, selalu dia yakini karena kehendak Langit,” kataku, sambil melihat ke arah pak Hadi yang masih menikmati sarapan mie instan.
“Saya jadi inget petuah seorang kyai sepuh. Beliau bilang; Jangan pernah meremehkan kebaikan, bisa jadi seseorang masuk surga bukan karena puasa sunahnya, bukan karena panjang solat malamnya. Tapi, bisa jadi karena akhlak baiknya dan sabarnya ketika musibah datang melanda,” tutur pak Hadi, tetap dengan tersenyum.
“Itu petuah kyai khos, Mbah Yai Maimoen Zubair ya, pak. Aku juga inget, beliau pernah bilang; jangan mudah berburuk sangka, agar hatimu tidak gelap dan hidupmu tidak sengsara,” sipir Mirwan menyela dengan cepat.
“Wuih, mantep ternyata pengetahuan pak Mirwan ini ya. Wajar kalau pak Mario seneng diskusi selama ini, karena ilmunya memang paten,” tanggap pak Hadi dan menyalami sipir Mirwan dengan spontan.
“Nggak gitu juga sebenernya, pak Hadi. Justru aku yang banyak dapet ilmu dari om Mario. Ada aja ide-idenya yang nggak kebayang sebelumnya,” ucap sipir Mirwan.
“Prinsipnya, kita emang mesti saling asah, asih, dan asuh itulah. Karena sering kali kita sebagai manusia ini emang aneh. Berlari ke arah dunia yang nggak dapet ditangkap, tapi melarikan diri dari kematian yang nggak bisa dihindari,” pak Hadi melanjutkan.
“Sepakat aku sama pendapat pak Hadi. Kalau prinsipku, hidup itu kayak kopi. Pahit buat pembenci, nikmat bagi penyuka. Tapi, kopi nggak perlu pura-pura manis. Intinya, kita nggak perlu ngerubah diri agar bisa diterima orang lain,” kata sipir Mirwan.
“Seneng aku kalau ketemu kawan yang bisa terus saling nguatin gini. Tetep enjoy dan optimis jadinya ngejalani hari-hari disini,” ucapku, seraya tersenyum.
Tiba-tiba sipir Mirwan menegur Rudy yang minum sambil berdiri. Tampak Rudy terbengong.
“Emang kenapa kalau minum sambil berdiri, om?” tanya Rudy, setelah ia duduk di lantai pemisah ruang depan dan ruang dalam.
“Kalau minum sambil berdiri itu, banyak mudharatnya, Rudy. Bisa nyebapin radang sendi, ginjal nggak bisa lakuin penyaringan dengan baik, juga bisa kena gangguan pencernaan akibat otot dalam keadaan tegang, bahayain dinding perut pula, dan yang pasti, mudah kena magh. Maka ikuti aja ajaran Kanjeng Nabi, kalau minum ya duduk,” urai sipir Mirwan, dengan gaya khasnya; santai.
“Siap, om. Terimakasih ilmunya ya, om. Rudy juga seneng kalau denger obrolan yang bermanfaat gini,” sahut Rudy, seraya tersenyum.
“Kamu kan seneng baca buku, Rudy. Terusin kesenenganmu itu. Pasti nanti kamu jadi makin menunduk, rendah hati. Kalau pemahaman tentang ilmu itu kamu sadari sebagai bagian buat ibadah. Tapi, kalau kamu buat jadi agul-agulan atau gagah-gagahan, nggak bakal manfaat ilmu sebanyak apapun,” sambung sipir Mirwan.
Terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda solat jum’at akan dilaksanakan beberapa waktu lagi. Pak Hadi dan sipir Mirwan pun berpamitan. Sepeninggal keduanya, aku ke kamar mandi. Berniat membersihkan badan.
“Om, Rudy masakin air dulu buat mandinya. Jangan mandi air dingin, kan belum fit bener badannya,” kata Rudy, begitu melihatku masuk ke kamar mandi.
“Nggak apa-apa pakai air dingin aja, Rud. Biar terbiasa lagi. Lama-lama mandi pakai air hangat, malahan manja nanti badan om,” sahutku, dan meneruskan mandi sunah jum’at. (bersambung)
