-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 301)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 28 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang

   

BEGITU masuk kamar, di meja ruang depan telah ada bubur ayam yang ditaruh pada mangkok. Juga abon sapi dalam kemasannya, serta tiga potong kerupuk. 


“Langsung makan dulu, om,” kata Rudy, yang tampak menungguku datang untuk makan siang bersama.


Sambil makan, aku menceritakan mengenai pertemuanku dengan ustadz Umar didampingi Danil, beberapa waktu yang lalu.


“Kenapa om nggak mau terlibat ngurusin majelis taklim?” tanya Rudy, setelah aku selesai bercerita.


“Bukan nggak mau sebenernya, Rud. Tapi lebih kepada tahu diri aja. Pengetahuan keagamaanku kan masih sangat rendah. Belum layaklah buat ikut ngajar di majelis taklim,” jawabku, sambil terus menikmati makan siang.


“Tapi itu kan kesempatan buat om berbagi pengetahuan dan pengalaman. Nggak mungkinlah ustadz ngajak om kalau dia nggak ngenilai selama ini,” lanjut Rudy. 


“Yang kamu bilang itu bener, Rud. Masalahnya, saat nyangkut urusan agama, aku nggak mau nyampein sesuatu yang kita sendiri nggak paham bener, apalagi nggak ngelakuinnya,” tanggapku.


Selepas makan, aku minta Rudy memanggil tamping kunci untuk mengeluarkan pak Anas dari kamar 19. Sel di sebelah kamarku. Tidak berselang lama, pria berpenampilan sederhana dan selalu menunjukkan senyumannya itu, telah duduk bersamaku di ruang depan selku.


Rudy membuatkan pak Anas minuman teh hangat. Juga menaruhkan beberapa makanan kecil. Aku menyampaikan apa yang diinginkan utadz Umar kepada pak Anas.


“Kalau nurut babe kayak mana?” tanya pak Anas.


“Kalau nurut aku, ini kesempatan untuk pak Anas menyebarkan ilmu pengetahuan dengan lebih maksimal,” kataku.


“Tapi nanti gimana dengan pak Sibli dan kawan-kawan di kamar? Kami kan satu paket istilahnya sekarang ini,” ucap pak Anas, masih penuh keraguan.


“Kalau pak Anas sudah oke, dan ustadz Umar juga oke, nanti kita bicarain sama pak Sibli dan kawan-kawan. Terserah apakah nanti pak Anas mau pindah ke kamar khusus majelis taklim atau tetep di kamar 19 aja,” jawabku. 


“Atau kita ajak pak Sibli diskusi sekarang juga ya, be. Karena aku kan punya kewajiban ngajari kawan-kawan di kamar 19 ngaji. Kalau mereka sudah lancar ngajinya, nggak apa-apa aku tinggalin,” pak Anas menambahkan.


Tanpa menunggu lama, aku kembali meminta Rudy memanggilkan tamping kunci dan mengeluarkan pak Sibli dari kamarnya. 


Beberapa saat kemudian, pecatan anggota Polri yang menjadi kap kamar 19 itu telah bergabung. Rudy pun menyuguhkan minuman kopi manis untuk pria berbadan tinggi besar tersebut.


Kembali aku menceritakan pertemuanku dengan ustadz Umar dan keinginannya memajukan majelis taklim rutan.


“Aku sepakat kalau pak Anas ngebantu di majelis taklim, bang. Sayang ilmu dan pengetahuan keagamaannya kalau nggak dimanfaatin buat orang banyak. Tapi, aku minta pak Anas tetep di kamarku. Kami juga kan lagi belajar ngaji,” kata pak Sibli, dengan gamblang.


“Oke, kalau gitu. Nanti abis solat ashar, kita ngobrol dengan ustadz Umar ya,” kataku, menimpali.


Setelah pembicaraan utama selesai, pak Sibli mengajak kami menonton televisi di gazebo yang ada di depan kamar 34. Dengan membawa minuman masing-masing, kami pun menikmati hiburan melalui tayangan pesawat televisi ukuran 29 inc. 


Lantai gazebo yang bersih dan licin, terasa begitu nyaman untuk merebahkan badan sambil menonton berita selebriti. Tanpa terasa, aku akhirnya tertidur begitu saja. Sampai kemudian pak Anas membangunkanku karena terdengar suara adzan dari masjid.


Aku, Rudy, pak Anas, dan pak Sibli berjalan bersamaan menuju masjid. Untuk ikut berjamaah solat Ashar. Dan seusai solat, aku minta Danil memberitahu ustadz Umar bila kami siap menghadap.


Danil mengajak kami ke ruang khusus koordinator majelis taklim, pada bagian samping kanan masjid. 


“Wuih, adem bener ruangan ini ya, bang. Alangkah sudah lamanya aku nggak ngerasain hawa kamar dingin ber-AC kayak gini,” pak Sibli menyeletuk seraya tertawa.


“Ya samalah, pak Sibli. Makanya siang tadi, aku juga ngerasain nyamannya di ruangan ini. Nggak kebayang, kalau sudah bebas nanti, masuk angin nggak kalau kita tidur di kamar ber-AC,” sahutku, juga sambil tertawa.    


Percandaan kami segera terhenti saat ustadz Umar masuk ruangan sambil mengucapkan salam. Setelah menaruhkan air mineral gelas di depan tempat kami duduk, koordinator majelis taklim itu mengambil tempat di sudut ruangan. Menyandarkan badannya yang tambun ke tembok.


Aku memperkenalkan pak Anas, pak Sibli, juga Rudy kepada ustadz Umar. Pun menyampaikan hasil pembicaraan kami di kamarku, beberapa waktu sebelumnya.


“Alhamdulillah, kalau pak Anas mau bantu saya buat ngembangin kegiatan belajar agama di majelis taklim kita. Tapi, karena pak Anas tetep ingin tinggal di kamar 19, berarti pak Anas bertugasnya menjelang solat dhuhur dan solat ashar. Nggak bisa kalau setelah maghrib atau isya karena kamarnya kan dikunci,” tanggap ustadz Umar, dengan suara penuh kegembiraan.


“Siap, ustadz. Saya ingin tetep di kamar 19 karena punya tugas ngajar ngaji ke kawan-kawan, setiap selesai maghrib sampai isya,” kata pak Anas.


Setelah bersepakat, kami pun berpamitan. Ketika keluar ruangan khusus tempat kami mengadakan pertemuan, terdengar suara riuh-rendah dari arah lapangan. Ternyata sedang ada pertandingan sepakbola juga bola volly antara Blok A melawan Blok C. 


“Kita nonton dulu ya, bang. Ngeramein aja, walau nggak ada tim blok kita yang tanding,” ajak pak Sibli, yang spontan duduk ndeprok di tepian lapangan sepakbola.


Saat kami masih asyik menikmati pertandingan sepakbola, Aris dan Iyos bergabung. Membawa air mineral botol dan gorengan dalam plastik. 


“Habis ngobrol sama ustadz Umar ya, be. Dia kenapa? Katanya sampai pingsan karena dipecat jadi dosen ya?” tanya Aris, setelah ikut duduk ndeprok di sebelahku.


“Kamu itu masih aja kebiasaan ngeghibah, Ris. Tinggalinlah kebiasaan nggak baik itu. Inget ya, ada orang bijak yang pernah bilang; jangan kau sebar keburukan saudaramu, bisa jadi ia sedang menyimpan aibmu,” jawabku, dengan serius.


“Wuih, babe mah langsung serius nanggepinnya lo. Aku kan cuma tanya aja sih,” ujar Aris, menyela dengan cepat.


“Pertanyaanmu itu ngandung unsur ghibah, Ris. Makanya ku jawab dengan serius. Biar kamu paham,” kataku lagi.


“Aku kan denger jugalah be, info kalau ustadz Umar sampai pingsan karena dipecat jadi dosen. Karena babe habis ngobrol sama dia, jadi ku tanya,” lanjut Aris, dengan santainya.


“Ya, terus kalau bener dia kena pecat, apa untung atau ruginya buatmu, Ris. Cobalah belajar diam daripada ngomong yang nambah-nambah dosa. Omongin aja hal-hal yang nggak nyangkut orang lain. Kikis pelan-pelan jiwa pembangkangmu itu,” ujarku, masih dengan nada serius.


“Babe jangan salah. Pembangkang itu lebih terhormat daripada penjilat lo. Sejelek-jeleknya pembangkang, dia masih punya harga diri dan berani nanggung risiko. Kalau penjilat, cuma cari tempat aman dan tempat makan aja,” tanggap Aris, dengan suara serius juga.


“Dan karena pemahamanmu itu, maka tetep kamu pelihara jiwa pembangkangmu ya, Ris?” tanyaku.


“Nggak gitu juga sih, be. Aku sampein tadi biar babe paham, kalau pembangkang itu sebenernya lebih terhormat ketimbang penjilat,” jawab Aris.


“Ya sudah, kita masing-masing kan tetep punya hak buat jadi apa. Cuma sebagai sahabat, aku ngerasa perlu ngingetin aja kok, Ris,” ucapku, dengan terus memandang ke lapangan, menyaksikan pertandingan sepakbola.


Aris hanya diam, tidak ada sepatah kata pun ia ucapkan lagi. Hingga pertandingan sepakbola selesai, aku kembali ke kamar. Berjalan beriringan dengan pak Sibli dan pak Anas. Yang selnya bersebelahan dengan tempatku. (bersambung)

LIPSUS