-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 272)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Kamis, 29 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


BABE ini rajin jogging, tapi nggak ngajak-ngajak,” kata Iyos, begitu aku bergabung dengan langkah mereka.


“Aku kan nggak tahu kalau kamu sama Aris mau jogging juga, Yos. Kalau seomongan sebelumnya, ya pasti aku susul ke kamar,” sahutku sambil tersenyum.


Sambil terus melangkahkan kaki secara teratur, kami terlibat perbincangan ringan. Iyos banyak bercerita mengenai toko selulernya yang kini terpaksa tutup akibat ketidakmampuan adiknya meneruskan pengelolaannya. 


“Ya nanti kamu buka lagi kalau sudah keluar dari sini, Yos. Masing-masing orang kan punya bakat berbeda-beda, walau sekandung. Jangan pula kamu salahin adekmu,” kataku, mencoba menenangkan Iyos.


“Tapi kan memulai dari nol lagi, be. Perjuangannya berat lo ngelola toko seluler itu. Apalagi sekarang, pesaing semakin banyak,” ucap Iyos dengan nada kecewa.


“Nggak perlu pesimis gitu, Yos. Kamu harus yakin, saat orang lain nganggep nggak ada peluang, justru disanalah peluangmu. Jadi nggak usah khawatirin hal-hal yang nggak perlu dipikirin serius sekarang-sekarang ini,” jawabku, terus mencoba menenangkan Iyos.    


“Sama dengan yang aku alami, be. Kantorku juga sekarang tutup. Tinggal usaha fotocopy aja yang masih jalan. Itu juga karena yang ngurus emang tinggal disitu,” kata Aris.


“Ya sudah. Apapun itu, semua ada masanya. Nggak ada di dunia ini yang abadi. Yang penting, keluarga kita tetep baik-baik aja. Sudah cukup itu,” tanggapku.


“Alhamdulillah sih, be. Keluarga baik-baik aja. Bahkan istriku bilang, nanti dia mau dateng ke pengadilan, temeni aku sidang,” ujar Aris. Ada senyum sumringah di wajah gantengnya.


“Aris ini kayak sinterklas lo, be. Siapa aja di kamar yang lagi kesulitan, langsung dibantu. Pokoknya, nggak bisa ngelihat orang susah,” kata Iyos, sambil menatap Aris yang berjalan di tengah.


“Nggak gitu jugalah, Yos. Kadang kalau aku ngebantu itu, bukan karena aku selalu mampu. Tapi, aku tahu rasanya kalau nggak ada satu pun orang yang mau ngebantu. Gitu juga kalau aku pinjemi sesuatu, bukan berarti aku punya lebih, tapi karena aku paham bener rasanya dalam kesulitan,” jawab Aris, dengan suara datar.    


“Semua yang kita lakuin, kembali ke niat. Kalau niat Aris ngebantu itu buat ngeringanin kesulitan kawan, inshaallah barokah. Tapi kalau niatnya salah, ya sia-sia aja. Ada orang yang pernah bilang begini; orang cerdas itu mikirin gimana ngebales kebaikan orang lain. Tapi orang bodoh, mikirnya gimana agar orang lain ngebales kebaikannya,” kataku, panjang lebar.


“Nah, kira-kira Aris ini posisinya dimana ya, be. Orang cerdas atau orang bodoh,” ucap Iyos, menyela. Sambil tertawa.


Aris dan aku pun akhirnya tertawa. Mentertawai diri sendiri atau keadaan yang tengah dialami, memang lebih terasa bijak dan menyenangkan. Daripada memberi jawaban yang justru bisa mengganggu kenyamanan.


Setelah 15 kali putaran, aku keluar area jogging. Ternyata, Aris dan Iyos juga menyudahi olahraganya. 


“Kalian ini jogging apaan. Baru enam kali putaran kok selesai,” kataku.


“Yang pentingkan sudah lancar peredaran darah di badan, be. Bukan soal jumlah putarannya,” sahut Iyos, tertawa.


“Kita sarapan nasi uduk yok, be. Nanti aku yang bayarin,” ujar Aris, saat melihat tamping waserda tengah membawa jajaannya melewati lapangan sepakbola.


“O iya, aku tadi lagi dibuatin Rudy kopi pahit sama mie rebus. Ya sudah, kalian sarapan nasi uduk aja,” kataku, dan mengajak mereka ke taman depan kamar.


Dan benar saja. Di meja taman, telah ada secangkir kopi pahit dan satu mangkok mie rebus, tanpa telor. Juga satu gelas air mineral. Aris langsung memesan dua bungkus nasi uduk. Untuk dia sarapan bersama Iyos. Rudy keluar kamar. Membawa dua gelas air mineral.


“Kamu sudah sarapan, Rud? Kalau belum, ambil aja nasi uduk atau nasi kuning,” kata Aris ketika Rudy menaruhkan air mineral di meja taman.


“Emang lagi pengen sarapan sih, om. Kalau gitu, Rudy minta nasi kuning aja ya,” sahut Rudy seraya tersenyum.


Setelah menerima satu bungkus nasi kuning dari tamping waserda, Rudy kembali masuk kamar. Menikmati sarapan di ruang depan. Aku, Aris, dan Iyos sarapan di taman, sambil terus bercengkrama.


“Bang, sarapan nggak ngajak-ngajak,” tiba-tiba terdengar suara keras dari kamar 19. Spontan aku melihat ke arah sel di sebelah kamarku itu. Ternyata pak Sibli yang berteriak.


“Mau sarapan ya, pak. Pengen makan apa?” kataku.


“Becandaan aja kok, bang. Pengennya sih bisa ngopi bareng sama abang,” jawab pak Sibli, sambil tertawa.


Aku panggil Rudy untuk mencari tamping kunci. Membuka pintu kamar 19 dan mengeluarkan pak Sibli. Beberapa saat kemudian, mantan anggota Polri itu telah duduk bersamaku, Aris, dan Iyos.


Sambil terus menikmati sarapannya, Rudy membuatkan kopi manis untuk pak Sibli. Aris memesankan roti bakar untuk sarapan pria seumuran denganku itu.


“Padahal semalem aku nggak mimpi apa-apa lo, kok pagi-pagi sudah dapet rejeki sarapan enak kayak gini ya. Alhamdulillah. Terimakasih semuanya,” kata pak Sibli, tetap sambil tertawa. Mendengar perkataan pak Sibli, kami pun tertawa.  


“Baiknya emang tinggalin kebiasaan nunggu mimpi itu, pak. Karena kenyataannya, kita nggak pernah mimpi kalau bakalan mau masuk rutan kayak gini,” ucap Iyos, beberapa saat kemudian.


“Pak Sibli ini dulunya pasti sering ngecak togel, Yos. Makanya, dia pengen tiap malem dapet mimpi,” sambung Aris. Kami pun kembali tertawa. Melengkapi suasana pagi yang memang ceria. 


“Aku ikutan nimbrung dong. Dari tadi aku perhatiin ketawa terus. Kayak nggak ada beban lagi aja,” mendadak datang Bos Blok B, sang bupati. Yang langsung duduk di antara kami berempat.


“O, silahkan, Bos. Kami malah seneng kalau bos mau gabung. Bisa nambah seru obrolannya,” ucap Aris dan menyalami sang bupati.


“Mau ngopi atau teh, Bos?” tanyaku.


“Nggak usah, bang. Kopiku aja belum habis tadi,” sahut Bos dan segera memanggil OD kamarnya untuk membawakan kopinya ke tempat kami bercengkrama.


“Wuih, kalau kopi Bos mah beda bener ya. Baunya aja enak bener, apalagi rasainnya,” kata Iyos.


“Ini kopi kiriman kawan, Yos. Dia emang pengusaha kopi. Baunya harum ya. Merangsang keinginan buat nyicipinnya,” jawab Bos, sambil tersenyum.


“Boleh juga kalau sekali-kali diajak ngopi spesial ini sama Bos,” lanjut Iyos.


“Boleh, Yos. Kapan aja, tinggal bilang. Kita disini sudah jadi keluarga. Jadi nggak usah ada sungkan-sungkan,” tanggap sang bupati dengan nada serius. 


“Nggak usah, Bos. Nanti Iyos malah ketagihan sama kopi spesial ini. Kan jadi repot sendiri dia,” kata Aris, menyela.


“Aris ini orangnya emang sering iri, Bos. Penuh iri dengki pokoknya,” sambut Iyos, seraya tertawa.


“Eh, Yos. Kamu jangan salah nilai lo. Kalau kamu nggak nemuin orang yang iri dengki sama kamu, berarti kamu manusia yang gagal,” ujar Bos, juga sambil tertawa.


“Kok bisa gitu, Bos?” tanya Iyos, dengan cepat.


“Karena kalau sampai nggak ada yang iri dengki sama kamu, berarti kamu nggak bergaul sama manusia. Mungkin kamu gaulnya cuma sama ikan, burung, atau taneman aja,” sahut Bos, dan tertawa ngakak.  


Kami akhirnya kembali tertawa bersama. Begitu asyiknya kami bercengkrama, tidak terasa sudah jam 10 lebih. Aris memberi isyarat untuk aku bersiap-siap karena kami ada jadwal sidang. (bersambung)

LIPSUS