-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 466)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 11 April 2023


Oleh, Dalem Tehang 


KETIKA kami masih mengaso mengeringkan keringat di tepian selasar, tampak seorang sipir keluar dari ruang pos penjagaan dalam. Ditangannya terdapat tiga gelas air mineral. 


Karena jarak yang cukup jauh, aku tidak segera mengenali siapa petugas keamanan rutan yang berjalan ke arah tempat kami tengah melepas lelah seusai jogging.


Hingga kemudian pak Ramdan menyebut sebuah nama. Sipir Almika. Baru aku mencermati dengan serius pria muda berbadan gempal dengan pakaian dinas tersebut. Iya benar, itu adalah sipir Almika. Petugas keamanan rutan yang selama ini juga banyak membantuku.


“Selamat pagi, Mika,” sapaku terlebih dahulu, saat langkah sipir tersebut semakin mendekat.


“Pagi juga, om. Seneng Mika lihat om sama kawan-kawan rutin jalan pagi kayak gini. Bukan cuma terus jaga kesehatan, tapi juga bisa ngentengin pikiran dan perasaan,” balas Almika seraya tertawa.


Ketika telah berdiri di depan kami, ia menyerahkan ketiga air mineral gelas yang dibawanya dari pos penjagaan dalam.


“Masak habis olahraga nggak minum. Makanya Mika sengaja bawain dari pos,” ucapnya, masih dengan tertawa.


“Nggak tahu ini pak Ramdan, Mika. Selalu aja lupa bawa air minum kalau kami olahraga. Terimakasih banyak ya air mineralnya. Pas bener buat ngilangin haus,” jawabku, seraya tersenyum.


Tanpa merasa sungkan, sipir Almika ikut duduk ndeprok bersama kami di tepian selasar. Sambil berbincang ringan, ia mengeluarkan satu bungkus rokok dari kantong bajunya, dan memberikannya kepadaku untuk mengambil satu batang serta menyulutkannya.


“O iya, om sudah tuntutan ya, berapa lama?” tanya sipir Almika, setelah aku menghisap rokok pemberiannya beberapa kali.


“Sudah, Mika. Dituntut tiga tahun. Kemarin sudah sampein pembelaan juga. Awal minggu depan giliran jaksa nyampein replik, tiga hari ke depannya langsung pembacaan vonis hakim. Nggak pakai agenda duplik, karena masa penahanan om segera habis. Pokoknya, minggu depan tuntas sudah prosesnya,” jelasku.


“Syukur kalau gitu. Biar cepet dapet kepastian ya, om. Jadi lebih tenang juga hati dan pikiran,” tanggap Almika, dengan tenang.


“Kalau om Mario mah sekarang sudah tenang, pak. Sejak pulang dari sidang kemarin, bawaannya lebih enjoy, lebih fresh, dan sering bersiul-siul,” kata pak Ramdan, menimpali.


“Oh ya, bagus kalau gitu. Kalau hati senang, pikiran juga tenang. Penyakit nggak bakal nyerang. Pertahanin terus suasana hati dan pikiran yang begitu, om. Mika yakin, om bakal baik-baik aja selama disini,” tutur sipir muda usia itu, tetap dengan gaya kalemnya.


“Ya Alhamdulillah, Mika. Setelah sampein pledoi pribadi kemarin, rasanya plong bener hati sama pikiran ini. Sudah nggak mikirin mau divonis berapa lagi. Yang penting dengan hati lepas gini, bisa lebih istiqomah jalani tekad terus perbaiki diri,” uraiku.


“Setuju aku sama sikap om. Yang om butuhin kan cuma kepastian masa hukuman aja. Kalau soal disini, inshaallah om bakal baik-baik aja. Mika ikuti dan perhatiin cara om bergaul dengan sesama warga binaan, cukup baik. Bahkan banyak yang seneng ngobrol dan kongkow-kongkow sama om. Belum lagi kami para sipir, juga pegawai rutan, mayoritas juga om kenal baik. Jadi nurut Mika, di dalem sini nggak ada ancaman apapun buat om. Tinggal om manfaatin buat hal-hal yang positif untuk diri om pribadi aja,” kata sipir Almika.


“O iya, Mika. Om sudah pegang botol lagi lo. Dua hari lalu dianter komandan ke kamar, sama chargernya sekalian. Itu setelah kami ngobrol sama kepala rutan,” ucapku, melaporkan perkembangan keadaan kepada sipir yang memang sangat dekat denganku juga keluargaku ini.


“Iya, Mika sudah denger kok om. Seneng Mika begitu tahu kepala rutan kasih om pegang botol lagi. Berarti komunikasi sama tante dan ponakan di rumah bisa intens kayak dulu,” sahut Almika, sambil tersenyum dan mengacungkan jempol tangan kanannya.


“Oh, kamu sudah denger ya, Mika. Maaf, om terlambat kasih info ke kamu,” ujarku lagi.


“Jarum jatuh di rutan ini aja kan Mika harus tahu, om. Apalagi yang nyangkut diri om, pasti prioritas buat Mika. Seneng Mika denger kabar itu. Ditambah yang kasih dispensasi buat om itu kepala rutan. Maka Mika bilang tadi, om santai aja disini, nggak ada ancaman apapun buat om. Tinggal om manfaatin buat perbaiki diri aja. Om-lah yang lebih tahu, sisi mana yang mesti diperhatiin serius, sisi mana pelengkapnya,” tutur sipir Almika, panjang lebar. 


“Siap. Terimakasih banyak supportnya, Mika. Alhamdulillh, kita ditemuin disini, om banyak terbantu dan tetep pede walau jadi warga binaan,” jawabku, dengan nada serius. 


“Semua sudah diatur sama Yang Kuasa, om. Kita tinggal jalani aja. Yang penting, om tetep jaga dan bawa diri baik-baik. Makin banyak orang disini kenal om, semakin merendah aja. Biar mereka segen, dan nggak berani ganggu-ganggu om,” ucap Almika.


“Inshaallah, om akan terus jaga diri baik-baik, Mika. Nggak bakal nganeh-nganeh. Justru karena ada kamu dan beberapa kawan sipir yang deket, juga perhatian kepala rutan, makin termotivasi buat bawa diri baik-baik. Inshaallah, om nggak akan jadi sombong apalagi songong,” kataku, tetap dengan nada serius. 


Sekitar 30 menitan kami berbincang ringan, sipir Almika berpamitan untuk kembali ke pos penjagaan dalam dan kemudian menempati tempat favoritnya melaksanakan tugas, yaitu di pos menara.


“Kita ini emang nggak boleh lepas dari bersyukur, karena selalu ada aja kebaikan yang kita terima dari lingkungan ini,” kata pak Waras, setelah kami berdiam beberapa saat sepeninggal sipir Almika.


“Maksudnya gimana sih, pak?” tanya pak Ramdan.


“Iya, cobalah kita sadari dan inget bener. Selalu aja ada kebaikan yang kita terima dari lingkungan ini. Contohnya ya kayak tadi. Habis olahraga dan kehausan, mendadak dateng sipir Almika bawain air minum. Coba kita renungi, kalau bukan Tuhan yang gerakin, secara lahiriyah nggak mungkin seorang sipir sampai sebegitunya kasih air minum untuk tahanan yang dijaganya. Begitulah cara Tuhan kasih rejeki, dari sesuatu yang nggak terduga,” urai pak Waras dengan gayanya yang khas; kalem.


“Bener juga ya, pak. Apalagi dari sebegini banyak orang yang olahraga, cuma kita bertiga yang dapet air minum dari sipir. Tuhan emang sayang bener sama kita. Aku sepakat, kita emang harus selalu bersyukur dalam setiap waktu,” tanggap pak Ramdan, dengan suara serius.


“Selalu ada pelajaran batin yang mestinya makin kita pahami. Apalagi Tuhan selalu penuhi janjinya, di balik kesulitan pasti ada kemudahan,” sambung pak Waras seraya menatap langit yang mulai diterangi sinar matahari. Penuh kecerahan. (bersambung)

LIPSUS