Oleh, Dalem Tehang
“KASIHAN juga nasib tamping tadi ya, Rud,” ucapku, dengan pelan.
“Sebenernya, banyak yang kayak gitu nasibnya di dalem sini, om. Yang orangtuanya nggak peduliin lagi. Padahal, mereka orang punya. Bahkan kaya raya. Makanya, kalau pas Rudy punya makanan, sering Rudy kasih mereka. Bahkan pernah, Rudy sampai nggak jadi makan, karena ada kawan yang sudah dua hari nggak makan,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.
“Nggak boleh juga kamu duluin orang lain, kalau kamu sendiri belum makan, Rud,” tanggapku.
“Waktu itu, Rudy emang punya stok makanan, om. Jadi, ya tetep bisa makan. Rudy ini sebenernya orangnya nggak pedulian sama orang lain, om. Cuma Rudy pernah baca buku, disana ada kalimat: kalau kamu ketemu orang dalam posisi kesulitan, jangan berpikir Tuhan lagi menguji hidupnya, tapi justru Tuhan sedang nguji kamu, apakah kamu mau ngulurin tangan buat menolongnya atau tidak. Sejak baca kalimat itu, pelan-pelan rasa peduli Rudy mulai tumbuh. Dan belakangan, ada kenikmatan tersendiri di hati, kalau bisa bantu orang lain,” tuturnya lanjut.
Suara adzan Isya mengalun syahdu. Aku dan Rudy bergegas keluar kamar. Kembali ke masjid. Mengikuti solat jamaahan. Suasana rutan yang terang benderang dengan puluhan lampu terpasang di setiap sudut, membuat hati tetap merasa nyaman. Keterpenjaraan raga, tetap tidak mampu memadamkan nyalanya jiwa.
Sekembali ke kamar, aku langsung merebahkan badan di kasurku. Mengambil buku dan pulpen, mencatat kegiatan harian. Mendadak, terdengar suara hujan. Menimpa genteng asbes kamar dengan kencangnya. Gemuruh tidak beraturan suaranya. Sementara suara petir bersahutan, nun jauh disana. Angin bertiup kencang, membawa percik air hujan masuk ke bagian ruang depan.
Rudy buru-buru mengambil kain sarungnya. Mengikatkan di jeruji besi, untuk menepis percikan air hujan yang semakin intens masuk ke sebagian kamar. Tepat di tempatnya biasa merebahkan badan.
Setelah sekitar 20 menitan hujan turun dengan kencangnya disertai tiupan angin, perlahan mulai mereda. Rudy melepas kain sarung dari jeruji, dan mengambil kain pel-pelan. Ia keringkan sebagian lantai ruang depan yang terpercik air hujan.
Saat Rudy masih konsentrasi mengeringkan kembali lantai kamar, tiba-tiba datang seorang tamping, mencariku.
“Ada apa?” tanya Rudy kepada tamping itu.
“Mau nganter makanan, Rud. Pesen bos, anter langsung ke tangan om Mario,” sahut tamping tersebut, dan menunjukkan sebuah bungkusan.
“Oke, sampein ke bos, Rudy yang terima. Om Mario lagi nulis, nggak bisa diganggu,” kata Rudy.
“Beneran nggak bisa diganggu om Mario-nya, Rud?” tanya si tamping, ada nada tidak percaya dari perkataannya.
“Ya benerlah. Kalau om Mario lagi nulis, jangan sekali-kali diganggu. Pasti marah nanti. Nggak mau kan, kamu kena marah? Makanya, kasih ke aku aja. Pasti sampai ke tangan om Mario nanti,” tanggap Rudy, tegas.
“Ya sudah kalau gitu. Tapi, kalau bos tanya, aku kasihinnya langsung ke tangan om Mario ya, Rud. Nanti marah juga bos, kalau tahu aku titip sama kamu,” ujar tamping itu lagi.
“Ya sudah, makanya nggak usah ribet-ribet sih. Aku kan sekamar sama om Mario. Dia lagi nulis di dalem. Nanti kalau dia sudah turun dari kasurnya, dan ke depan, aku kasihin kiriman bos ini,” jawab Rudy, dan menerima bungkusan kiriman dari bos. Bupati muda yang tersangkut skandal gratifikasi.
Selepas memastikan tamping yang diperintah bos telah meninggalkan kamar, aku panggil Rudy.
OD kamar 20 yang murah senyum itu, membawa sebuah bungkusan dan memberikannya kepadaku.
“Buka aja sama kamu, Rud. Biar tahu, apa isinya,” kataku.
Dengan gerakan terlatih, Rudy membuka bungkusan tersebut. Ternyata berisi makanan ringan. Donat. 12 potong.
“Alhamdulillah. Ada aja rejeki om ini ya,” ucap Rudy, setelah memastikan isi bungkusan kiriman sang bupati.
“Rejeki kita, Rud. Bukan cuma rejeki om. Inilah kuasanya Allah. Baru beberapa waktu lalu kita berbagi makanan, sekarang diganti-Nya dengan makanan juga. Maka jangan berhenti bersyukur kita ya, Rud. Kita terus saling ngingetin buat kebaikan,” kataku, dan memulai menikmati kue donat. Yang memang enak dan legit.
“Enak donatnya ya, om. Pasti mahalan ini ya harganya,” kata Rudy, setelah mencicipi makanan tersebut.
“Pastinya ya mahallah, Rud. Yang beli aja bupati, mana ada makanan ecek-ecek yang dia beli,” sahutku, dan terus mengunyah donat.
Saat kami masih asyik menikmati kue donat sambil berbincang ringan di tempat tidurku, mendadak sang bupati datang.
“Wah, bos. Terimakasih banyak donatnya. Enak dan legit,” kataku, dan spontan menyalami bos yang langsung duduk di tepian kasurku.
“Alhamdulillah, kalau abang suka. Sengaja ngirim donat buat abang, sebagai ucapan terimakasihku,” ujar sang bos, sambil melepas senyuman.
“Kok terbalik-balik sih, bos. Ya akulah yang berterimakasih, karena bos sudah kirimi donat ini,” tanggapku, dengan cepat.
“Oke, abang terimakasih ke aku karena kiriman donat. Aku berterimakasih sama abang, karena sudah memotivasi dengan keyakinan yang tinggi dan mendoakanku. Akhirnya, tadi sore majelis hakim mutusin aku divonis enam tahun. Nggak jadi sembilan tahun seperti rencana semula. Allah Maha Adil,” kata sang bupati dan langsung memelukku dengan erat.
“Oh ya? Alhamdulillah. Terus bersyukur ya, bos. Yakini, kalau selembar daun yang jatuh dari rantingnya aja karena kehendak Allah, apalagi urusan-urusan yang besar,” sambutku, dan juga memeluk sang bupati dengan perasaan haru dan bahagia.
“Inshaallah, aku tahu bersyukur, bang. Tadi begitu selesai sidang, aku minta istri sambil pulang dari pengadilan, beli beras 200 Kg dan mie instan 10 kardus, anter ke yayasan yatim piatu yang dia temui di jalan. Aku minta adikku beli 25 kotak kue donat untuk dibagi disini. Dan cuma abang yang langsung dapet satu kotak, lainnya dibagi-bagi perkamar lima potong. Wujud rasa syukurku atas rejeki yang Allah kasih dengan pengurangan vonisku,” tutur sang bupati, panjang lebar.
“Alhamdulillah. Terus aja berbagi kayak gitu, bos. Inshaallah, apa-apa yang bakal nyerimpet jalan bos ke depan, nyingkir dengan sendirinya kena angin sedekah bos yang rutin dan ikhlas,” sahutku, dengan tersenyum.
“Bos, kenapa cuma om Mario yang dikasih satu kotak donat isi 12 potong, yang lain perkamar lima potong?” tanya Rudy, tiba-tiba.
“Karena, di saat aku down berat ngadepin vonis yang informasinya sembilan tahun, bang Mario ini satu-satunya orang yang sungguh-sungguh dan tulus memotivasiku buat berserah sepenuhnya kepada Allah. Dan aku yakin, setelah bang Mario ngeyakinin kalau vonisku bisa turun atas kehendak Allah. Ternyata bener. Allah itu bekerja sesuai keyakinan kita, Rud,” tutur sang bupati, mengurai.
Rudy menganggukkan kepalanya. Ada senyum bahagia di sudut bibirnya. Dan, tanpa sungkan, anak muda berusia dibawah 30 tahun itu, menyalami sang bupati dengan kedua tangannya. Penuh hormat.
“Rudy seneng ngelihat bos kayak gini. Kata orang, kalau hati tenang dan senang, tergambar di wajah. Dan saat ini, wajah bos bener-bener ceria penuh sukacita. Beban batin itu nggak kelihatan lagi. Pertahanin gini terus, bos. Biar awet muda,” kata Rudy, sambil tertawa.
“Emang kamu kira aku ini sudah tua apa ya, Rud. Bisaan aja kamu ini,” sahut bos, dan tertawa ngakak.
“Usia bos emang masih muda sih. Cuma karena selama ini beban batin lebih dirasain, akhirnya kelihatan lebih tua dari umurnya. Maaf ya, bos. Kalau kata orang bijak, pelajaran terbesar dalam hidup, biasanya dipelajari pada saat-saat terburuk. Dan nurut Rudy, bos sudah kuasai dengan bagus pelajaran itu. Makanya sekarang bos bisa nikmati keceriaan dan penuh kebahagiaan,” sambung Rudy.
Dengan gerak cepat, sang bupati memeluk Rudy, yang tampak terperangah, tidak menyangka ia akan dipeluk bos besar di Blok B ini. Kehidupan dalam keterpenjaraan, memang acapkali menyingkirkan segala kemewahan dan kepangkatan. Dan itu, hanya bisa dinikmati hingga ke dasarnya saat berada di rutan. (bersambung)
