-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 455)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 31 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang 


SESAMPAI di ruangan, aku langsung berwudhu dan solat Ashar. Diikuti Laksa. Tim pengacaraku datang. Kami berdialog beberapa waktu, dan setelahnya mereka keluar ruangan. 


“Sebentar, tadi pas denger dituntut tiga tahun penjara, kok Mas Mario malahan tersenyum. Kenapa?” tanya Makmun, menghentikan langkahnya di pintu ruangan sel.


“Senyum itu wujud syukur, Makmun. Apapun kan mesti disyukuri,” kataku, santai.


Makmun terdiam. Dan sambil menggaruk-garuk kepala, ia melanjutkan langkahnya. Keluar ruangan tempatku bersama Laksmi dan Laksa berada.


“Iya tah tadi ayah senyum waktu denger dituntut tiga tahun itu?” tanya istriku, setelah Makmun menghilang dari pandangan.


“Ya emang ayah senyum, bunda. Spontanitas aja, sebagai wujud rasa syukur, karena proses persidangan tinggal beberapa babak lagi,” jawabku, tetap dengan santai.


“Bisa juga karena kakak ngerasa tuntutannya di bawah ancaman maksimal, makanya senyum ya,” Laksa menyela. Ada senyum tipis di sudut bibirnya.


“Itu juga bener, dek. Dengan jaksa tidak nuntut kakak pakai ancaman hukuman maksimal, itu bukti kalau sebenernya mereka sendiri ragu akan kebenaran perkara ini. Mereka tetep lanjutin prosesnya hanya karena ada dua barang bukti saja. Jadi, formalitas hukumnya memenuhi unsur, namun tetep ada keraguan akan kebenaran hakiki dari perkara ini,” tuturku, tetap dengan santai.


“Nurut perkiraan ayah, nanti vonisnya berapa lama?” tanya istriku, penasaran.


“Nggak usah ngira-ngira ya, bunda. Kita terima dan jalani aja apa yang nanti diputusin majelis hakim. Itulah takdir buat ayah,” sahutku, dan merengkuh badan Laksmi masuk ke dalam pelukanku.


“Nggak lama lagi kan proses kepastian hukumannya ya, kak?” tanya Laksa, ada penasaran dari perkataannya.


“Iya, nggak lama lagi, dek. Sidang nanti kakak dan pengacara nyampein pembelaan. Pledoi. Terus sidang berikut, jaksa nanggepi pembelaan kami, atau nyampein replik. Setelahnya, majelis hakim kasih vonis buat kakak. Jadi, hitung-hitungannya, ya tiga kali sidang lagilah,” jelasku.


“Ayah jangan lupa bikin pembelaan pribadi lo. Sampein aja apa adanya. Nggak usah ngikuti karangan orang yang ngelaporin ayah cuma biar majelis hakim merasa kasihan dan kasih hukuman ringan. Tegakin kebenaran yang sebener-benernya, walau resikonya ayah dapet vonis berat. Itu lebih bunda sukai ketimbang ayah ngorbanin kebenaran hanya buat dapet hukuman ringan,” kata istriku Laksmi, dengan nada tegas.


“Nurutku juga gitu, kak. Jangan ubah kebenaran yang kakak yakini, dengan harapan pengen dapet vonis ringan. Kakak mesti tetep yakin, kebenaran akan cari jalannya sendiri buat nunjukin jatidirinya. Kalau nggak di dunia, ya di akherat nanti. Jangan sampai di dunia nggak dapet kebaikan, apalagi di akherat,” ujar Laksa, dengan wajah serius menatapku.


“Iya, ayah setuju sama bunda. Kakak juga sepakat sama kamu, dek. Lagian, kakak kan sudah cukup nyatu dengan bumi, angin, air, dan lingkungan penjara. Jadi, nggak ada lagi yang dikhawatirin. Inshaallah, tetep kebenaran yang kakak sampein nanti dalam pembelaan,” jawabku, setelah berdiam beberapa saat.


Suara mengaji menjelang adzan Maghrib terdengar dari masjid di dalam kompleks Pengadilan Negeri. Mengalun dengan syahdu. Surah Ar-Rahman yang menggema di penghujung senja tersebut.


Bersamaan dengan itu, seorang pegawai Kejaksaan Negeri muncul di depan pintu ruangan. Kami pun memahami, waktunya untuk aku kembali ke rutan, telah datang.


Setelah memeluk Laksmi cukup lama, juga mencium pipi, kening, dan bibirnya, aku peluk Laksa dengan sangat kencang. Seakan ingin terus menyatukan batin kami sebagai sesama laki-laki yang harus terus tegar, kuat, dan tangguh. 


Dua kantong plastik berisi makanan pemberian istriku Laksmi dan adikku Laksa, aku bawa menaiki mobil tahanan. Teguh telah menungguku di kursi paling ujung. Tepat di belakang pengemudi. Dibatasi besi yang cukup kokoh. 


Aku melambaikan tangan kepada istri dan Laksa, ketika kendaraan mulai berjalan meninggalkan gedung Pengadilan Negeri. Keduanya juga melambaikan tangannya. Dan tampak istriku mengusap mata indahnya, ada air yang bergulir begitu saja menggelinding di pipinya. Laksa memeluk istriku, kakak wanita satu-satunya. Terus menguatkan.


Suara sirine dua mobil tahanan yang sangat khas, langsung memecah keheningan. Bergerak lincah di jalanan yang masih cukup padat. Sebagai orang yang biasa mengemudi, aku kagumi kepiawaian sopir mobil tahanan dalam membawa kendaraannya di tengah padatnya arus lalulintas. 


Begitu lincah, membelah kemacetan dengan cerdik, dan langsung menginjak gas kencang-kencang saat situasi lalulintas kosong. Suara sirine khas mobil tahanan memang membantu sopir kendaraan untuk bisa terus melaju tanpa hambatan. Namun, kemampuan pengemudinya tetaplah yang utama.


Teguh tampak terus menatapkan pandangannya ke arah luar kendaraan yang berjalan kencang. Aku memahami, ia melakukan hal tersebut. Karena telah lebih dari empat bulan, ia tidak pernah melihat suasana di luar lingkungan rutan.  


“Dapet hiburan kan Guh kalau pas ada agenda sidang,” ucapku dengan pelan, sambil tersenyum.


Teguh menengokkan wajahnya, dan tersenyum. Raut mukanya tampak penuh keceriaan. Ia mengambil dua kantong plastik bawaanku. 


“Biar aku yang bawain barang ayah,” kata dia, dengan terus tersenyum. Dan sesaat kemudian, kembali menatapkan pandangannya ke arah luar mobil tahanan. 


Tidak sampai 45 menit, kami telah memasuki lingkungan rumah tahanan. Satu demi satu kami memasuki ruang P-2-O untuk menjalani pemeriksaan rutin. Aku memegang tangan Teguh, agar ia tetap berada di sampingku.


“Coba buka kantong plastiknya dan keluarin isinya,” perintah seorang petugas P-2-O kepada Teguh.


Dengan tangan bergetar, anak muda yang tersangkut kasus narkoba itu mengeluarkan satu persatu barang yang ada di dalam dua kantong plastik pemberian istriku Laksmi dan adikku Laksa.


“Banyak juga kiriman makanan buatmu ya. Siapa tadi yang dateng ke pengadilan?” tanya petugas itu, sambil menyisir barang bawaan yang berserakan di lantai menggunakan kayu pendek.


“Itu barang bawaanku, pak. Tadi istri sama adekku yang ke pengadilan,” aku yang menyahut.


“Oh, punya pakde to. Kenapa anak ini yang bawain,” jawab petugas itu dengan cepat.


“Ini Teguh, pak. Kawan sekamar. Dia minta biar dia aja yang bawain tadi pas di mobil,” jelasku.


“O gitu. Ya sudah. Kalau-kalau ada yang mau pakde sisihin, boleh juga, pakde,” kata petugas P-2-O, seraya tersenyum.


Aku menarik selembar uang dari kantong celana. Pecahan Rp 20.000, dan meng-kimel-kan ke tangannya. Spontan, petugas itu tersenyum. Melihat senyumnya yang merekah, aku juga tersenyum. Terbayang wajah istriku, yang selalu mengingatkanku untuk terus berbagi rejeki dalam kondisi apapun. (bersambung)

LIPSUS