Oleh, Dalem Tehang
BARU saja masuk kamar, mendadak turun hujan. Langsung deras sekali. Disertai angin yang cukup kencang, juga suara petir bersahutan di langit. Rudy buru-buru menutup pintu kamar.
Selepas mandi, aku merebahkan badan di lantai tempat tidur. Memanfaatkan waktu untuk menulis pada buku catatan harian. Sementara, dari luar kamar terdengar suara riuh-rendah penghuni rutan.
Pikiranku tergelitik untuk melihat apa yang tengah terjadi di seputaran taman. Yang memisahkan dua jejeran kamar tahanan. Ternyata, belasan tahanan sedang bermandi hujan-hujanan. Saling menyiramkan air hujan. Tertawa-tawa dan berteriak-teriak kegirangan. Layaknya perilaku kebanyakan anak manusia saat usia 10 tahunan.
“Kamu nggak main hujan-hujanan, Rud?” tanyaku kepada Rudy yang menonton kawan-kawan bermandi hujan dari balik jeruji besi kamar.
“Nggaklah, om. Lebih seru nonton kayak gini. Jadi inget lagi kelakuan waktu masih SD,” sahut Rudy, seraya tertawa.
Tiba-tiba muncul di depan kamar, pak Edy dan pak Sibli. Keduanya telah bertelanjang dada. Hanya memakai celana pendek.
“Ayo, bang. Kapan lagi kita bebas nikmati main hujan-hujanan kalau nggak disini. Nanti mau hujan-hujanan kayak gini di rumah, malu sama anak,” kata pak Sibli, sambil memegang tanganku yang ada di jeruji besi.
Pak Edy yang berdiri di taman depan kamar, melambaikan tangannya. Mengajakku bergabung. Sambil ia berjingkrak-jingkrak, terus memanggilku.
Aku hanya menggelengkan kepala. Benar kata Rudy, lebih enak menyaksikan perilaku mereka-mereka yang tengah bermain hujan-hujanan. Yang tidak sadar soal usia. Tetap saja merasa masih anak-anak. Berjingkrakan dan berteriak-teriak penuh kegembiraan dan keceriaan.
Semakin lama, kian banyak penghuni Blok B yang bermain hujan-hujanan. Sehingga taman sepanjang 30 meteran itu disesaki tahanan. Banyak di antaranya yang hanya duduk bersila dan diam. Bak pertapa. Menikmati kucuran air hujan menimpa kepala dan badannya. Seakan mendapat kedamaian tersendiri berkat air yang langsung jatuh dari langit tersebut.
Suara adzan Maghrib menggema. Air hujan masih begitu derasnya. Beberapa di antara tahanan yang bermain hujan-hujanan, tampak meninggalkan kawasan taman untuk kembali ke selnya. Namun, tidak kalah banyak yang tetap menikmati curahan hujan di tempat terbuka itu.
Aku mengajak Rudy solat berjamaah di kamar. Dilanjutkan dengan membaca Alqur’an. Keasyikan kami menyelusuri ayat-ayat Tuhan beserta maknanya, baru berhenti ketika suara adzan Isya terdengar. Dan kami pun melakukan solat wajib bersama.
“Om, Rudy laper. Kita makan ya. Rudy buatin om tambahan lauk mie rebus ya, biar hangat waktu makan buburnya,” kata Rudy, begitu kami selesai solat Isya.
Aku hanya menganggukkan kepala dan menuju ke jeruji besi depan. Ternyata, kawasan taman telah sepi. Semua tahanan yang sebelumnya bermain hujan-hujanan, kembali ke selnya masing-masing.
Setelah makan malam, aku kembali ke tempatku. Mengambil buku dan menuliskan catatan harian. Hingga kantuk datang, dan aku pun tidur. Tepat tengah malam, aku terbangun saat mendengar suara beberapa orang sedang berbincang di taman depan kamar dengan kencangnya.
Setelah turun dari lantai tempat tidur, aku berjalan ke ruang depan. Dan berdiri di balik jeruji besi. Ternyata beberapa sipir yang bertugas malam itu bersama Dino dan Basri yang sedang bercengkrama.
Sambil menikmati makanan ringan, martabak dan roti, dilengkapi minuman kopi dan teh hangat, ketujuh orang itu sedang asyik terlibat pembicaraan, dan sesekali ditingkahi dengan tertawa ngakak.
Mendadak aku teringat bila besok siang akan kembali menjalani persidangan. Hatiku tergerak untuk melakukan solat malam serta menyerahkan seluruh kisah peradilanku kepada Tuhan.
Selepas berwudhu, aku pun fokus pada prosesi peribadatan. Suara percandaan yang ingar-bingar di taman depan kamar, tidak lagi mengusik keasyikanku bersenandung bersama Sang Penguasa Alam. Bahkan terasa dunia ini begitu sunyi-senyap. Dan hadir semilir angin ketenangan melilit badanku yang duduk terpaku di atas sajadah.
Ketika suara adzan Subuh menggema dari masjid, barulah ku angkat wajahku,diiringi tarikan napas panjang. Ada kelegaan tersendiri di sudut jiwa yang juga merasakan derita raga terpenjara ini.
Ku bangunkan Rudy dan mengajaknya ke masjid. Pada saat kami keluar kamar, Dino dan Basri baru masuk kamar. Kegiatan berbincang semalam suntuk mereka, berakhir.
Suasana masjid terasa lengang. Hanya ada belasan anggota majelis taklim yang berjamaah. Bahkan, ustadz Umar juga tidak tampak. Aku dan Rudy berpandangan. Cukup heran dengan situasi yang tidak seperti biasanya ini. Tapi, kami tidak berani bertanya.
Sampai kemudian, seorang pria berusia 60 tahunan maju ke depan, menjadi imam. Cukup fasih bacaan ayat-ayat yang dilantunkannya. Suaranya yang merdu mendayu, membuat solat pembuka pagi itu, penuh dengan nuansa tersendiri. Lebih khusu’.
“Kenapa ustadz Umar nggak ke masjid ya, om?” tanya Rudy saat kami berjalan untuk kembali ke kamar.
“Mana tahulah, Rud. Emang aku bisa neropong jarak jauh. Yang pasti, ya karena ada halangan serius. Nggak biasanya kan beliau seperti ini,” tanggapku.
“Tadi kepengen sih Rudy tanya ke salah satu anggota majelis taklim, om. Tapi kok ragu-ragu, akhirnya nggak jadi tanya,” lanjut Rudy.
“Ya sudah, nggak usah kamu pikirin. Toh, seperti kata kamu, jarum jatuh aja, semua penghuni rutan pasti tahu. Nanti juga pasti ada yang cerita ke kamu, kenapa ustadz Umar nggak jadi imam solat pagi ini,” ujarku.
Rudy tersenyum dan cengengesan. Anak muda ini memang dikenal sangat tinggi keingintahuannya terhadap hal apapun. Sehingga seringkali, hal-hal yang tidak perlu pun ia sikapi.
“Om mau sarapan apa ini? Dibuatin bubur instan atau nanti beli nasi kuning, apa nasi uduk?” tanya Rudy, saat kami telah di kamar.
“Buatin bubur instan aja, Rud. Sama kopi pahit setengah cangkir. Siapin juga air putih hangatnya, buat minum obat,” jawabku.
“Siap. Rudy minta mie gorengnya ya, om,” kata Rudy, dan mengambil satu bungkus mie goreng di lemari tempat makananku, dan satu bungkus bubur instan yang dikirim istriku beberapa hari lalu.
Seusai sarapan, aku keluar kamar. Berjalan pelan mengelilingi lapangan. Mencari keringat. Seiring berjalannya waktu, beberapa tahanan pun melakukan kegiatan yang sama. Meski tidak saling mengenal, namun saat berdekatan, kami tetap menegur walau hanya dengan senyuman atau anggukan.
“Itu bang Mario lagi jogging, Ris. Ayo, kita kejer, langkahnya kan pelan,” terdengar sebuah suara kencang dari tepi lapangan saat aku menengok asalnya, ternyata Iyos yang bicara.
Bersama Aris, pria bujangan itu tengah bersiap untuk melangkahkan kakinya mengitari lapangan. Aris mengangkat tangannya ke arahku. Yang berposisi di seberang tempat mereka akan memulai joggingnya. Aku pun merespon dengan mengangkat tanganku.
Setelah lima putaran, aku berhenti dan duduk di tepian selasar. Ngangin. Iyos dan Aris pun menghentikan aktivitas olahraganya. Dan duduk bersamaku.
“Kalian ini nggak niat olahraga ya? Masak baru dua kali putaran sudah selesai?” tanyaku.
“Yang penting kan darah di badan sudah bergerak, be. Sudah keluar keringet. Karena olahraga itu nggak perlu lama-lama,” sahut Aris, sambil tertawa kecil.
“Iya juga sih, semua kan tergantung mau kita aja ya. Sesuai sama kebutuhan badan kita. Tapi, sejak aku sakit dan cuma lima putaran, rasanya belum klik gitu di badan,” kataku.
“Itu karena babe kebiasaan di atas 10 kali putaran sekali jogging. Makanya, badan babe belum ngerasa panas. Padahal, sebenernya sudah cukup dengan lima kali putaran aja,” ujar Iyos, menanggapi.
“Gimana bisa cukup sama lima putaran, yos?” tanyaku.
“Itu sesuai dengan umur babe. Kan sudah di atas 50, jadi ya tahu diri aja. Jangan maksain badan,” sahut Iyos, dengan suara serius.
Aku terdiam. Memang umurku sudah di atas 50 tahun, namun yang aku tahu, umur bukan ukuran untuk pembatasan dalam berolahraga. Hanya soal pilihan jenis olahraganya saja.
“Sudahlah, be. Apa-apa itu nggak usah maksain diri. Yang penting kan badan tetep sehat. Apalagi sudah rasain kan, gimana sengsaranya kalau sakit di dalem rutan ini,” kata Aris, seraya menepuk bahuku.
Aku hanya bisa tersenyum. Yang disampaikan Aris tidak salah. Dalam menjalani hidup di area penahanan, memang menjaga kesehatan fisik sangatlah penting. Karena sekali jatuh sakit, nelongsonya hati sulit untuk dilukiskan dengan kuas dan cat sebagus apapun. (bersambung)
