-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 289)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 16 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang

  

MELIHAT gerak cepat Mirwan, Rudy hanya terbengong dan kemudian memandangku dengan tatapan penuh kekhawatiran.


“Bakal jadi masalah nggak ya, om. Rudy kesel aja, makanya langsung keceplosan begitu ada om Mirwan disini,” kata dia, beberapa saat kemudian.


“Inshaallah semua baik-baik aja, Rud. Nggak usah dikhawatirin apa yang bakal terjadi. Karena belum tentu juga seperti yang ada dalam pikiran dan jadi kekhawatiranmu,” sahutku, sambil merebahkan badan.


“Om, solat dululah. Nanti ketiduran lo,” kata Rudy, mengingatkanku.


“Masyaallah, iya juga ya. Kok bisa lupa gini ya, Rud. Terimakasih sudah kamu ingetin,” ucapku, dan bergerak bangun untuk ke kamar mandi. Wudhu.      


Seusai solat Dhuhur di atas kasur dan meminum obat, kembali aku merebahkan badan. Ingin tidur. Mengistirahatkan badan, hati, dan pikiran. Belum lagi aku memejamkan mata, terdengar suara sepatu laras masuk kamar. Pasti sipir.


Ternyata sipir Mirwan dan sipir yang tadi bersikap keras di pos penjagaan dalam yang datang. Mereka langsung menemuiku di tempat tidur. Rudy juga duduk di lantai dekatku.


“Kawan ini nggak kenal siapa om, maka dia bersikap seperti tadi. Dia emang baru seminggu disini, om. Jadi bisa dibilang ya belum kenal sama lingkungan,” kata sipir Mirwan, menjelaskan.


“Aku minta maaf, om. Bukan maksudku mau meres atau nyusahin tahanan, om. Cuma pengen ngelihat mental tahanan disini aja,” ujar sipir yang beberapa waktu sebelumnya sempat memaksa akan mengambil juice jambu kiriman istriku.   


“Coba buku dulu jaketmu itu, jadi kami bisa tahu siapa nama kamu. Aku juga mau tanya, apa urusan kamu pengen ngelihat mental tahanan disini, kamu kan bukan psikolog,” tanggapku, dan duduk bersandar tembok di dekat kasurku.


Sipir itu membuka jaketnya. Barulah tampak namanya di pakaian dinas. Arya. Wajahnya kelihatan memerah, ada egoisme posisi yang tidak bisa ia kendalikan. 


“Emang aku bukan psikolog, om. Karena itu pengen tahu, gimana mental tahanan disini,” kata sipir Arya.


“Terus kalau sudah tahu, mau apa?” tanyaku. Dengan suara santai.


“Kalau sudah tahu gimana mental tahanan, aku bisa cepet kenali lingkungan kerja baruku ini. Jadi, kehadiranku disini bisa punya makna baik buat tahanan khususnya,” jelas Arya, dengan suara ragu-ragu.


“Maksudnya, kalau ternyata banyak tahanan bermental lemah, bisa jadi jejekan. Bisa diminta ini-itu kapan kamu perlu, gitu ya,” ucapku dengan nada ketus.


“Nggak gitulah, om. Sebagai orang baru, aku kan harus ngebaca situasi dan lingkungan. Jangan mikirnya yang negatif dong, om. Kita kan harus saling hargai,” kata sipir Arya, sambil menunjukkan ketidaksukaannya atas perkataanku.


“Ya sudah, nggak usah diperpanjang ya. Lakuin apa yang kamu mau jalani, tapi aku minta, kita jangan segangguan,” kataku lagi. Menghentikan perdebatan.


“Siap, aku seneng om punya mental tangguh. Bisa buat tempatku ngobrol-ngobrol dan tuker pikiran kalau lagi penat tugas,” sambung sipir Arya, dan menyalamiku. 


Aku sambut tangannya dengan ramah. Betapapun juga, bersahabat lebih penting daripada bertahan dengan ego masing-masing. Apalagi aku sadar betul, betapa tidak menentunya kehidupan di dalam rutan.


“Arya, om Mario ini nggak mau kalau diajak tuker pikiran. Karena dia nggak mau pikirannya dituker sama pikiranmu, juga sebaliknya. Ajak dia bercandaan atau santai-santai aja ngobrolnya. Nanti baru ilmu dan pengalamannya keluar,” ujar sipir Mirwan, dan tertawa ngakak.


Aku, Arya, dan Rudy pun ikut tertawa. Suasana yang sebelumnya terasa tegang, spontan berubah cair. Penuh keceriaan dan kebersamaan. Dan inilah kehidupan yang kian aku yakini kesohihannya. Semua bisa berubah secara tiba-tiba, tanpa perlu meminta persetujuan kita.


Rudy membuatkan minuman kopi manis untuk sipir Mirwan dan sipir Arya. Juga mengeluarkan satu bungkus roti Keset bawaan istriku. Sambil meneruskan berbincang ringan, aku merebahkan badan. Dan akhirnya, tanpa ada kata pamitan, aku tertidur. Hingga tersadar saat adzan Ashar terdengar dengan kencang dari masjid.


Saat turun dari lantai tempat tidur, aku melihat Rudy tengah tidur nyenyak di lantai ruang depan. Seusai berwudhu, aku langsung solat di kasurku. Dan melanjutkan dengan membaca Alqur’an.


Ketika senja akan berganti malam, Rudy bangun dari tidurnya dan langsung menemuiku. Matanya masih sembab, bahkan beberapa kali menguap.


“Om mau mandi pakai air hangat? Aku masakin airnya dulu ya,” kata dia. Aku menganggukkan kepala. Serta menyudahi kegiatan membaca kita suci. 


Rasanya segar sekali badanku seusai mandi dengan air hangat. Semangat untuk segera sembuh kian menguat. Setelah melumuri sebagian badan dengan minyak kayu putih, aku memakai kaos lengan panjang, juga celana training panjang. Ku lengkapi dengan sal melingkar di leher. Makin hangat.


Begitu aku ke ruang depan, Rudy yang sebelumnya tengah melamun, tampak terpana melihatku.


“Kamu kenapa, Rud? Kayak ngelihat hantu ya?” tanyaku, sambil tersenyum.


“Keren amat tampilan om sore ini. Matching bener kaos sama trainingnya. Ditambah sal di leher. Wuih, kayak anak muda mau ke rumah pacar aja,” sahutnya, dengan tetap menatapku.


“Bisaan aja kamu nyenengin hati om, Rud. Pakai sal ini kan buat nahan hawa dingin di leher,” ujarku.


“Tapi beneran lo, om. Keren tampilan om sore ini. Sering-seringlah bergaya gini, orang nggak nyangka kalau umur om sudah kepala 5,” sambung Rudy, kali ini dengan tersenyum.


“Kayak masih umur 30-an ya, Rud,” tanggapku, dan tertawa.


“Ya nggak segitu jugalah, om. Kalau dikasih pengurangan umur, pasti aja om ini langsung ngambilnya yang 30-an. Nggak kepala tanggung,” sahut Rudy, juga tertawa.


“O iya, Rud. Tadi Mirwan sama Arya akhirnya keluar kamar jam berapa. Om kan ketiduran, jadi nggak tahu,” kataku.


“Nggak lama setelah kedengeran om ngorok. Mereka ketawa lihat om tidur gitu aja. Terus pamit ke Rudy. Om Mirwan bilang, besok pagi kesini lagi. Kan dia piket pagi besok itu,” jelas Rudy.


Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Menyadari akan ketidakpatutanku dalam posisi masih berbincang, malah tidur. Apalagi dengan sipir, penguasa rutan. Beruntung kedua sipir yang tadi bercengkrama denganku, memahami kondisi kesehatanku, sehingga tidak menimbulkan persoalan.


“O iya, om. Ada undangan yasinan malem ini habis isya di kamar 12. Bapaknya salah satu penghuni disitu, ninggal tadi pagi. Tadi om Aris kesini, tapi om lagi tidur,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kita dateng, Rud. Ikut yasinan,” jawabku dengan tegas.


Ketika suara adzan Maghrib menggema, aku langsung kembali ke kasurku. Dilanjutkan dengan solat. Rudy berangkat ke masjid. Solat berjamaah. Kembali aku membuka Alqur’an. Meneruskan bacaan sebelumnya. Hingga waktu solat Isya datang.


Baru saja usai berdoa, Rudy telah berdiri di dekat tempat tidurku. Memberi isyarat untuk segera ke kamar 12. Yasinan.


Atas izin sipir yang bertugas, kamar 12 dibuka pintunya. Masing-masing kamar mengirim dua orang untuk mengikuti acara pengiriman doa tersebut. Akibat banyaknya WBP yang akan ikut yasinan, hingga harus duduk berdesakan di teras depan kamar. 


Pak Anas yang memimpin pembacaan yasin, tahlil sekaligus doa. Penghuni kamar 12 yang tengah berduka seiring wafatnya sang ayah, pria berusia sekitar 40-an, duduk tercenung di sudut kamar. Memakai kemeja warna putih yang tampak lusuh dan berkopiah, yang juga telah termakan usia. Wajahnya penuh kesedihan. Air matanya terus bercucuran. Aris yang mewakilinya menyampaikan sambutan.


Prosesi pengiriman doa berlangsung penuh kehidmatan. Tanpa disadari, banyak WBP yang saat itu meneteskan air matanya. Membayangkan betapa sedih dan pedihnya jiwa, manakala ditinggal orang tua wafat saat berada di dalam penjara. Apalagi tidak mendapat izin untuk melepas ke liang lahat. (bersambung)

LIPSUS