-->
Cari Berita

Breaking News

Jembatan Trimulyo

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 22 Oktober 2023

ENDRIYONO
Esais, Tinggal di Bandarlampung


INI pertama kali saya masuk ke desa yang dibuka dengan jembatan bertulis, Trimulyo. 

Sungainya, sering meluap jika musim hujan. Banjir bandang. Jalannya, meski hanya seukuran satu mobil, beraspal mulus di tengah permukiman khas rumah-rumah warga desa. Yang punya latar dan aneka tanaman perkebunan. Indah sekali. Sembari mendengar lantunan lagu "Lari dari Blora" milik Rafika Duri. 

Rumah warga, ada pohon pisang, singkong, kelapa, banyak yang berpagar daun katu atau jenis tanaman hias itu.

Di dunia lain, heboh sekali tentang jalanan rusak. Tak maju-maju. Dan postulat yang menjurus ke aksioma. Akibat pemerintah yang gagal mengurus perbaikan infrastruktur jalan. 

Saya pernah masuk ke perkebunan warga di pedalaman Kepahiyang, Bengkulu, dan atau ke arah Sukau dari Liwa yang mesti pakai sepeda motor dengan ban berlapis rantai agar tak terpeleset di jalanan licin berlumpur. Jika melintasi sungai kecil, hanya berjembat pohon kelapa atau bambu ala kadarnya. Butuh kipiawaian dan ketangkasan mengendarai sepeda motor agar tak nyungsep.

Sampai Desa Banjaran, saya benar-benar menyaksikan apa itu keindahan alam perdesaan. Padi terhampar menghijau di pinggir jalanan beraspal. Bukit menjulang, yang kian jauh semakin terlihat biru. Angin bertiup lembut dari arah selatan, semilir. Meski pada jiwa yang meranggas, terasa sekali oase panorama itu. Bahwa tidak ada yang kebetulan atas peristiwa apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Dan di sinilah saya. Memaku lelaku agar dapat mencecap segala puji-pujian. 

Inilah yang saya bayangkan beberapa tahun lalu, ketika keliling perdesaan di Klaten, Boyolali, dan atau permukiman padat penduduk di Sukoharjo. Susuri gang-gang berpaping yang rapi di Karang Anyar. 

Sampai kemudian tiap malam, mendengkur di Bawean. 

Memang di tanah Jawa, sulit kita dapatkan jalur ekstrem semacam ke Raman Utara. Nyaris semua jalan seperti jalur Pekalongan-Siraman yang teman saya pernah adu kambing. Motornya ringsek dan lengannya patah. 

Baik perdesaan di Jawa maupun di Lampung, saya menemukan persamaanya. Yakni, di desa-desa itu nyaris tidak ada lagi anak muda yang tinggal. Hampir semua remaja putrinya, ke kota. Atawa ke luar negeri jadi TKI. 

Maka jangan kaget, di pedalaman ini rumah-rumah warga sudah model minimalis modern. Tidak lagi sebatas bertembok leter U. Melainkan sudah diprofile dengan ragam hiasan yang hanya mampu dilakukan tukang bangunan dari Pringsewu.(*)

LIPSUS