-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 286)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Kamis, 13 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


MAAF ya, ayah. Mbak nggak tahan. Ngebayangin ayah sakit, tapi kami nggak bisa berbuat apa-apa, nyesek rasanya di hati mbak. Rasa sedihnya begitu sakit di hati ini,” ucap Bulan, setelah ia bisa menenangkan dirinya.


“Iyo, nduk. Ayah paham kok apa yang kamu dan bunda rasain. Maaf yo, ayah nggak disiplin jaga makannya. Inshaallah, ke depan ayah makin bisa jaga makan, juga nggak paksain buat olahraga,” sahutku, masih diliputi kesedihan.


“Ya sudah, ayah nggak apa-apa kok, nduk. Begitu ada kesempatan, kita tengok ayah ya. Anak gadis kesayangan bunda nggak boleh sedih lagi. Kita doain ayah cepet sembuh,” ujar istriku dengan tetap memeluk Bulan.


Dan sesaat kemudian, hubungan video call ditutup oleh istriku. Aku memahami, ia perlu waktu tersendiri untuk kembali menenangkan Bulan, yang memang tampak begitu terpukul mendengar aku sakit.



Setelah menonaktifkan telepon seluler dan menyimpannya di balik rak panjang di atas tempat tidur, aku merebahkan badan. Menatap plafon kamar. Pikiranku melayang. Terbayang kembali betapa Bulan tak kuasa menahan kesedihan dan keprihatinannya melihat aku didera sakit. 


Ingatanku pun mundur ke belakang. Memang, selama ini ketika aku sedang sakit, Bulan selalu merawatku. Bahkan, ia tidur pun di sampingku. Bertiga dengan istriku. Menjagaku. Tidak pernah jauh dari keberadaanku. 


Saat sang bunda harus ke kantornya, beberapa kali Bulan sampai memilih izin tidak sekolah, demi menungguiku yang tergolek sakit. Ia tinggalkan semua aktivitas, demi bisa terus menjaga dan merawatku saat sakit. Kedekatan lahir batin kami, memang luar biasa. Saling melengkapi. Saling menyayangi. Saling peduli.


“Om, obat buat malem sudah diminum belum? Jangan lupa lo,” tiba-tiba Rudy mengingatkan, sambil berdiri di dekat kasurku. Ditangannya terdapat cangkir berisi air putih hangat.


“O iya, Rud. Hampir kelupaan. Terimakasih, sudah kamu ingetin,” sahutku, dan bergerak pelan untuk mengambil obat cacing yang dikirim istriku Laksmi melalui sipir Fani.


Seusai meminum obat, aku kembali merebahkan badan. Dan memejamkan mata untuk tidur. Masih sempat aku melihat, Rudy duduk di lantai tempatku tidur sambil bersandar di tembok. Menjagaku.


Kenyenyakan tidurku terusik setelah terdengar suara bernyanyinya beberapa orang di taman depan kamarku. Diiringi denting sinar gitar, suara fals mereka memecah kesunyian. 


“Ada sipir yang ulang tahun, om. Dia manggil anak-anak kamar 18. Disuruh ngehibur. Ada kue dan makan-makan juga di depan,” kata Rudy, begitu mengetahui aku terbangun dari tidur lelapku.


“O gitu. Ya sudah, nggak apa-apa, Rud,” sahutku, mencoba tetap tenang.


“Tadi sudah Rudy kasih tahu kawan-kawan dari kamar 18, nyanyinya jangan kenceng-kenceng karena om lagi sakit. Tapi, sipir yang ulang tahun malah minta nyanyinya yang seru. Yah, mau nggak mau, kawan-kawan ngikuti perintahlah, om,” lanjut Rudy, tersenyum tipis.


“Iya, om maklum kok, Rud. Sipir kan tuan tanah disini, kita cuma pengontrak,” ucapku, dan tersenyum kecut. 


Suara canda tawa kebahagiaan dan tepukan tangan, meningkahi berbagai judul tembang yang dinyanyikan penghuni rutan dari kamar 18. Sesungguhnya, acara dadakan itu memang cukup menghibur, namun karena kondisi badan sedang tidak sehat, aku tetap tidak bisa ikut menikmati suasana penuh keceriaan tersebut. Justru bagiku, semua kemeriahan malam itu adalah perusak ketenangan yang tengah aku rajut.


Meski banyak yang meyakini, hidup ini berisikan beragam pilihan, tapi amat berbeda saat berada dalam putaran hari di penjara. Acapkali, tidak ada pilihan kecuali harus menelan kenyataan. Pun yang aku rasakan malam ini. 


Di saat badan masih diselimuti demam dan sesekali menggigil kedinginan, sama sekali tidak bisa mengistirahatkan badan melalui tidur, akibat begitu riuh-rendahnya suasana di taman depan kamar. Karena ada seorang sipir yang sedang merayakan hari ulang tahun kelahirannya. 


“Paksain tidur, om. Pejemin aja mata. Nanti kan tidur juga,” kata Rudy, yang memahami keresahan pikiran dan batinku saat itu. 


“Ini lagi nyoba bisa tidur lagi, Rud,” jawabku, singkat.


“Atau minum obat tidur aja, om. Rudy mintain ke tamping poliklinik. Biasanya dia nyimpen di kamarnya,” sambung Rudy.


“Nggak usah, Rud. Seumur hidup, om belum pernah minum obat tidur, jadi lebih baik nggak usah. Pengen tidur yang alami-alami aja,” sahutku lagi.


Waktu terus bergulir. Melewati tengah malam. Pesta sederhana di taman depan kamar, belum juga usai. Aku pun belum bisa untuk kembali memejamkan mata dan tidur. Beberapa kali aku bangun dari kasur. Meminum air putih dan memakan roti. Begitu sulit ku kendalikan keresahan ini. 


Hingga akhirnya, aku tergerak untuk berwudhu, dan solat malam. Dengan langkah pelan, aku ke kamar mandi. Rudy yang masih menyandarkan badan di tembok dekat tempat tidurku, terus memandangi langkahku.


“Nggak usah dikunci kamar mandinya, om,” kata Rudy, mengingatkanku.


Dan setelah wudhu, aku kembali ke kasur. Merapihkan kain sarung, memakai kupluk, dilanjutkan solat. Cukup sulit untuk meraih kekhusu’an akibat semaraknya suara nyanyian dari depan kamar. Namun, aku terus paksakan. Karena memang tidak ada pilihan, selain harus konsentrasi penuh dalam penghibaan kepada Sang Maha Kuasa.


Melihat aku solat dengan tenang, Rudy bergerak. Meninggalkan tempatnya, dan keluar kamar. Ikut bergabung di taman depan kamar dengan beberapa orang yang ada disana.


Begitu seriusnya aku merangkai ibadah dan doa, hingga tidak terasa suara adzan Subuh telah menggema dari masjid. Bersamaan dengan itu, acara penuh keriuhrendahan di taman depan kamar pun, berhenti.


“Rudy ke masjid ya. Om solat di kamar aja,” kata Rudy, setelah suara adzan selesai. Dengan langkah cepat, anak muda itu keluar kamar untuk menuju masjid. Solat berjamaah.


Selepas solat sunah qobla subuh dilanjutkan solat wajibnya, aku membaca Alqur’an. Surah Al-Waqi’ah. Tatanan ayat suci yang mengurai tentang kiamat. Aku baca surah tersebut hingga berkali-kali. Dengan menelaah makna di setiap ayatnya.  Sampai tidak menyadari bila Rudy telah duduk di lantai tempat tidurku.


“Lho, kamu sudah dari masjid, Rud? Nggak dengerin kultum dulu ya?” tanyaku, menatap Rudy.


“Yang penting kan solat wajibnya, om. Kultum itu sunah. Rudy kepikiran om aja, takut kenapa-kenapa,” kata dia, dan kembali menaruh cangkir berisi air putih hangat di dekatku.


“Alhamdulillah, badan sudah enakan kok, Rud. Nggak usah khawatir ya. Tinggal proses penyembuhan aja,” sahutku, dan memberinya seulas senyum.


“Alhamdulillah, kalau gitu, om. O iya, tadi kok om baca Qur’annya berulang-ulang di surah itu aja, kenapa?” tanya Rudy. 


“Itu tadi surah Al-Waqi’ah, Rud. Allah jelasin soal kejadian kiamat,” kataku.


“Kenapa kok malah berkali-kali ngebaca yang soal kiamat, om?” tanya Rudy lagi.


“Kenapa ya? Pengen aja kali ya, biar lebih paham, Rud,” kataku lanjut.


“O gitu, kirain Rudy, ada nilai tersendiri yang pengen om ambil dari baca berkali-kali tadi,” tanggap Rudy, santai.


“Kali juga gitu sih, Rud. Surah itu kan bicara soal kiamat. Gimana gunung-gunung diterbangin. Pokoknya, semua isi dunia porak-poranda nggak karuanlah. Nah, anggep-anggep aja kita ini lagi rasain kiamat, tapi kiamat kecil. Hati dan pikiran kita kacau nggak terkendali akibat harus hidup di penjara. Dihempaskan kesana-sini. Belum lagi, kita harus bisa nyatu sama seribu orang dengan gayanya masing-masing. Mudah-mudahan, dengan baca surah tadi, kita akan diangkat derajat setelah rasain kiamat kecil ini. Itu aja harapan om sih,” ujarku panjang lebar.


“Aamiin. Inshaallah, harapan itu diijabah ya, om. Yang pasti, sepahit apapun kondisi kita sekarang, tetep wajib disyukuri. Karena kita dapet hidayah. Bisa rutin solat dan belajar ngaji. Rudy pernah baca di buku, Imam Syafi’i bilang: andai hidayah bisa ku beli, maka akan ku beli berkeranjang-keranjang untuk ku bagikan kepada mereka yang aku cintai. Kurang beruntung apa coba kita, om. Hidup dalam keterbatasan gini, tapi Allah kasih hidayah buat kita bisa deket sama Dia,” kata Rudy, dengan serius.


“Kalau om pikir-pikir, sebenernya ada juga harga yang harus kita bayar sampai akhirnya bisa dapet hidayah ini, Rud. Yaitu kebebasan kita,” tanggapku, dan kembali tersenyum kecut. (bersambung)

LIPSUS