Oleh, Dalem Tehang
PAK Manto ternyata sosok yang terbuka. Sambil menikmati minuman segar dan cemilan khas rutan, ia menguraikan panjang lebar jejak kariernya sebagai pegawai di lingkungan Kemenkumham khususnya bertugas di lapas dan rutan.
“Yang saya syukuri, jadi banyak kawan dan keluarga dengan bertugas di lapas dan rutan selama 20 tahunan lebih ini, bang. Alhamdulillah, ada aja yang tiba-tiba ngebantu kalau lagi ada masalah di jalan misalnya. Atau pas anter istri ke pasar, sering tukang parkirnya nggak mau dikasih uang, ternyata dia dulu pernah jadi warga binaan,” tutur pak Manto, yang selalu menutup pembicaraan dengan senyuman.
“Pernah nggak pak, pas ketemu mantan warga binaan, malah kena senggol atau perlakuan balas dendem dan sebagainya?” tanyaku.
“Alhamdulillah, nggak pernah saya ngalami yang kayak gitu, bang. Semua yang ketemu di luar, masih mau bertegur sapa dan salaman. Jadi kawan baik malahan,” jawab pak Manto.
“Kami yang sudah senior-senior ini memang beda perlakuin warga binaan, pak. Kami sejak awal dididik untuk tidak berlaku kasar, main tangan dan sebagainya. Kami dilatih untuk lakuin pendekatan sebagai sesama anak manusia. Sentuh hati dan pikirannya. Kalau pun ada warga binaan yang lakuin kesalahan, ya diberi teguran. Kalau tetep bandel, sesuai protapnya, masukin ke strafsel. Tanpa pernah nyentuh fisiknya,” komandan menambahkan dengan panjang lebar.
“Kenapa sekarang yang muda-muda sering pasang wajah angker dan arogan dalam ngebina warga binaan ya, pak?” tanyaku lagi.
“Mungkin pola pendidikannya sudah berubah, pak. Saya juga nggak tahu pasti. Bisa juga karena karakter pribadinya. Tapi, semua sipir yang satu tim dengan saya, terus saya beri didikan untuk berlaku baik, dekati warga binaan dengan hati. Karena kami sadar, semua kita pasti pernah lakuin kesalahan, bahkan ngelanggar hukum. Tapi bukan berarti yang ngelakuinnya nggak akan nemui kesadaran untuk berbuat baik ke depannya. Nah, kami bina dan bimbing disini untuk yang kemarin lakuin kesalahan, nanggalin semuanya dan berubah jadi baik,” jelas komandan.
“Tapi kan banyak juga warga binaan yang bandel, pak. Yang berbuat sesukanya, bahkan terang-terangan sengaja lakuin pelanggaran aturan disini,” kataku.
“Biasalah itu, pak. Dari sekitar 1.200-an orang di dalem sini, kalau ada 100 atau 200 yang aneh-aneh, ya masih wajar-wajar saja. Sepanjang nggak nimbulin kegaduhan apalagi coba-coba kabur, ya kami tetep tangani dengan pendekatan hati. Saya yakin betul, kalau kita sentuh hatinya dan ngingetin masih banyaknya kesempatan untuk jadi orang baik, warga binaan yang berperilaku aneh-aneh itu perlahan akan jadi baik juga,” jawab komandan, penuh keyakinan.
Pak Manto menyela, dengan menanyakan kesungguhanku untuk menjadi tamping di tempatnya bertugas. Ia juga menguraikan beberapa tugas yang menjadi tanggung jawab tamping pada bagian umum rutan.
“Siap kalau diberi kesempatan, pak,” jawabku, dengan tegas.
“Syukur kalau abang sudah sepakat. Paling lambat tiga minggu ke depan tamping di bagian umum yang sekarang sudah bebas, jadi abang langsung bisa gantiin. Santai aja kok di tempat saya itu. Komandan ini pengen, abang bisa nikmati kebebasan selama di dalem sini. Setiap hari dari pagi sampai sore, abang bisa keliling kemana aja. Terserah mau kemana. Cuma satu yang dilarang, keluar rutan sebelum masanya bebas,” kata pak Manto, dan tertawa.
Aku dan komandan pun tertawa mendengar perkataan pak Manto. Pembawaan kabag umum yang terbuka dan rileks itu, menunjukkan ia sangat berpengalaman berurusan dengan warga binaan. Melalui caranya membaca gestur, ia bisa dengan cepat menilai seseorang yang tengah diajaknya berbicara.
“Abang jangan bayangin jadi tamping di bagian umum nanti mau disuruh kerjain ini dan itu. Nggak. Abang duduk-duduk aja di ruang kerja saya. Kalau saya belum sampai kantor, ya abang yang gantiin tugas-tugas saya,” ucap pak Manto, membaca pikiranku yang tengah mengira-ngira mengenai tugas apa saja nantinya bila benar-benar menjadi tamping di bagian umum.
“Nurut informasi yang aku dapet, untuk jadi tamping selain perlu surat persetujuan keluarga, juga ada jaminan BPKB motor. Plus ada uang pelicin sekitar Rp 3 jutaan. Bener nggak itu, pak,” ujarku, sambil menatap komandan dan pak Manto.
“Kalau ada surat persetujuan keluarga dan nyerahin BPKB sepeda motor sebagai jaminan, ya memang ada aturannya, bang. Tapi kalau ada kewajiban soal uang, nggaklah. Apalagi buat abang,” sahut pak Manto dengan tegas.
“Ada kawan tamping yang cerita, kalau uang Rp 3 jutaan itu lebih penting dibanding syarat-syarat lainnya lo,” kataku lagi, dengan penasaran.
“Disini kan emang tempatnya orang jual kisah sih, pak. Coba pak Mario suruh tamping itu tunjuk hidung siapa yang minta uang buat dia jadi tamping, mau nggak dia kasih tahu namanya. Yang penting, untuk urusan kita ini nggak ada nyangkut-nyangkut soal uang. Kalau ada sipir yang main macem-macem, ya risiko dia,” jawab komandan dengan nada tegas.
“O iya, pak. Maaf kalau pertanyaanku agak kebablasan tadi itu. Sekarang soal syarat BPKB motor, gimana aku bisa nyerahin BPKB sebagai jaminan, punya motor juga nggak,” ujarku, menyela dengan cepat.
“Santai aja, pak. Nggak apa-apa pak Mario tanya begitu, kami malah seneng. Apalagi kalau tamping yang ngaku diminta uang itu berani nyebut orang yang mintainnya. Saya bisa ambil tindakan. Kalau soal BPKB motor, nggak usah jadi pikiran. Nanti saya yang siapinnya. Pak Mario cukup bawa surat persetujuan keluarga aja. Sudah ada form-nya, tinggal diisi dan tandatangan. Istri pak Mario kan rutin dateng, nanti dibicarain dulu. Kalau sepakat, tinggal tandatangan,” jawab komandan.
Beberapa saat kemudian, pak Manto mengajak kami ke ruangannya. Setelah mengetuk pintu P-2-O dan dibukakan oleh sipir yang bertugas disana, kami bertiga menaiki tangga yang ada di sebelah kiri gerbang utama. Dalam sekali putaran, sampailah kami di ruangan terbuka. Ada sofa besar untuk menerima tamu.
“Ini ruangan saya, bang,” ujar pak Manto, membuka pintu di sebelah kiri ruang tamu tersebut.
Sebuah ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter. Berisi satu meja kerja cukup besar berikut kursinya, dan dua kursi di depannya. Pada bagian belakang meja kerja pak Manto, berdiri lemari berisikan berbagai berkas. Sementara pada sisi lain, terdapat sebuah meja lebih kecil dengan satu kursi dan seperangkat komputer yang cukup canggih.
“Itu meja dan kursi tamping yang sekarang. Namanya Yoga, bang. Nanti saya kenalin. Dia lagi ke bawah, tadi nganter berkas yang masuk. Beberapa hari ke depan, abang yang duduk disitu,” kata pak Manto, memahami arah pandanganku.
“Asyik kalau ada komputer gini, pak. Aku bisa main games,” ucapku, sambil tertawa lepas.
“Ya nggak apa-apa, bang. Yoga juga banyak gunain komputer itu buat main games kok. Karena surat-menyurat ngetiknya di ruangan staf. Di ruangan ujung setelah sofa tadi,” tanggap pak Manto, juga dengan tertawa. (bersambung)

