Oleh, Dalem Tehang
TIDAK seperti biasanya, proses pemeriksaan bagi tahanan yang selesai mengikuti persidangan, berlangsung cukup cepat. Tidak sedetail hari-hari sebelumnya.
Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, kami sebanyak 87 orang, telah kembali ke sel masing-masing. Seusai melapor pada tiga pos pemeriksaan. P-2-O, pos penjagaan luar, dan pos penjagaan dalam.
“Alhamdulillah, babe sama Teguh sudah balik. Ayo, langsung mandi dan kita makan bareng,” sambut pak Waras, begitu melihatku dan Teguh berdiri di depan pintu kamar.
Tanpa banyak bicara, aku langsung mengambil pakaian ganti dan membersihkan badan di kamar mandi. Setelah menyerahkan satu kantong plastik berisi makanan yang dibawakan istriku kepada pak Ramdan. Dan beberapa saat kemudian, kami makan malam bersama.
Selepas menikmati makan malam, aku merebahkan kasur yang masih bersandar di tembok. Dan sesaat kemudian, mengaktifkan telepon seluler. Sambil duduk santai di atas kasurku yang tebal dan besar, melalui WhatsApp, aku menyapa anak-anak. Bulan dan Halilintar. Tentu juga istriku, Laksmi.
“Alhamdulillah, ayah sudah bisa komunikasi lagi. Dijaga bener hp-nya ya, ayah. Mbak seneng bisa ngobrol sama ayah lagi kayak gini. Mbak masih ulangan ini, air doa ayah terus mbak tambah sama air di rumah kalau sudah mau habis,” balas anak gadisku, Bulan. Panjang lebar.
“Horee, kita bisa video call-an lagi sekarang ya, ayah. Adek sering pengen ngomong langsung sama ayah kalau pas nemuin masalah,” sahut cah ragilku, Halilintar.
“Ayah sehat-sehat ya. Alhamdulillah, Allah terus kasih kemudahan buat kita komunikasi,” tulis istriku, Laksmi.
Bahagia dan haru membaca balasan mereka atas WhatsApp-ku. Semakin aku menyadari, betapa pentingnya sarana komunikasi saat kami terpisahkan seperti ini.
Dari dalam hati, aku mengucapkan terimakasih dan penghormatan kepada kepala rutan dan komandan pengamanan yang telah memberiku dispensasi dengan memperbolehkan memegang telepon seluler sendiri. Dan tanpa perlu membayar iuran seperti warga binaan yang lain.
“Alhamdulillah yo bunda, nduk dan tole. Terus kita syukuri yang ada ya. Nggak usah ngeluhin hal-hal yang nggak ada. Buat hati dan pikiran kita tetep enteng, pasti semuanya enak-enak aja,” balasku kepada orang-orang kebanggaanku tersebut.
Setelah sekitar dua jam kami berkomunikasi, aku mematikan telepon seluler dan kembali menyimpannya di sudut bagian dalam kasurku, yang telah aku robek kainnya dengan rapih. Dan langsung tidur.
Hati dan pikiran yang tenang dan penuh rasa damai, membawaku bisa tidur dengan nyenyak hingga suara adzan Subuh menggema dari masjid di dalam kompleks rutan.
Seusai melaksanakan solat, seperti biasa, aku, pak Waras dan pak Ramdan memanfaatkan kesempatan untuk berolahraga. Beberapa kali aku memperhatikan cara pak Waras menatapku yang terasa beda.
“Kenapa mandangnya beda gitu sih, pak. Emang ada yang aneh ya sama aku?” tanyaku, penasaran.
“Babe itu yang bawannya beda, mestinya aku yang tanya. Kenapa kok jadi beda gini,” jawab pak Waras, sambil kami terus berjalan pelan mengelilingi lapangan sepakbola.
“Maksudnya gimana sih?” tanyaku lagi.
“Sejak pulang sidang tadi malem, bawaan babe itu beda bener. Kelihatan ceria, wajah penuh senyum, dan sering bersiul-siul kayak orang lagi kesenengan gitu,” kata pak Waras.
“Oh gitu. Emang gitu ya pak Ramdan,” ujarku, sambil menatap pak Ramdan yang berjalan di sebelah kiriku.
“Bener yang diomongin pak Waras itu, om. Bahkan, semalem juga kami obrolin sama kap dan kawan-kawan pas om lagi asyik chat-an sama keluarga. Bawaan om beda bener. Lebih rileks gitulah,” jawab pak Ramdan.
“Kali beban hati dan pikiran sudah lepas ya, pak. Karena sudah sampein runtut kasusku ini yang sebener-benernya lewat pembelaan kemarin siang di persidangan. Emang kerasa plong sih semuanya sekarang. Nggak ada lagi beban di batin dan pikiranku,” kataku, terusterang.
“Aku sudah ngeduga gitu emang, be. Aku yakini bener, buat babe bukan soal di penjaranya ini yang jadi beban, tapi belum ada kesempatan nyampein kebenaran itulah yang ngeganjel. Nah, pas sudah bisa nyampein, plong-lah semuanya,” tanggap pak Waras dan menepuk-nepuk bahuku.
“Nggak masuk akalku, kalau om sudah ngerasa nggak ada beban padahal vonis aja belum,” ucap pak Ramdan, menimpali.
“Jadi nurut pak Ramdan, karena apa dong?” tanya pak Waras, dengan cepat.
“Yah, om Mario kan pinter ngelola batin dan pikiran selama ini. Senyesek-nyeseknya batin dia, masih aja bisa ketawa. Sekalut-kalutnya pikiran, masih bisa bercandaan. Aku nggak nemuin alasannya kalau om Mario sekarang kelihatan lebih enjoy cuma gara-gara bisa nyampein pembelaan pribadi dengan apa adanya. Pasti ada hal-hal lain yang dia sembunyiin,” urai pak Ramdan, dengan nada penuh keyakinan.
“Hal-hal lain itu apa nurut pak Ramdan?” tanyaku, penasaran dengan analisanya.
“Yah, mungkin aja om berubah pikiran. Di ujung persidangan, ikut main kayak kawan-kawan yang lain buat ngeringanin hukuman. Makanya jadi lebih fresh gini,” jawab pak Ramdan.
“Nggak, pak. Aku sudah mantep lahir batin nggak bakal ngerusak keikhlasan nerima takdir ini dengan main macem-macem di pengadilan. Aku cuma ikuti alurnya, apapun itu. Kalau sekarang kelihatan lebih fresh atau rileks, ya karena sudah sampein kebenaran yang aku alami. Nggak lebih, juga nggak kurang. Soal nanti hakim mau jatuhin vonis berapa lama, terserah aja. Nggak aku pikirin,” jawabku, panjang lebar.
“Jadi, nggak ngaruh buat om mau di penjara berapa lama?” tanya pak Ramdan, sambil memandangku.
“Nggak, pak. Aku sudah pasrah dan ikhlas. Begitu nanti ketok palu setelah vonis dibacain, itulah waktu buatku untuk kuatin tekad terus perbaiki diri lahir batin. Aku tetep syukuri semuanya, nggak ada beban sama sekali di batin maupun pikiranku soal lamanya hukuman,” ujarku.
“Aneh juga ternyata om ini ya. Nggak masuk akalku, ada orang nggak kepikiran lamanya dia di penjara,” celetuk pak Ramdan.
“Kita kan sudah biasa selama disini nemuin hal-hal di luar akal sih, pak. Jadi, nggak usah juga maksain sesuatu harus sesuai akal kita. Inilah bukti kalau banyak hal di langit dan di bumi yang di luar jangkauan akal kita. Kenisbian selaku makhluk yang harus kita sadari,” kata pak Waras, dengan tersenyum.
Aku juga tersenyum. Sambil merangkul pundak pak Waras dan pak Ramdan, aku meneruskan jogging hingga 15 kali kami bertiga memutari lapangan sepakbola di dalam kompleks rutan. Menjaga kebugaran tubuh adalah pondasi kokoh agar tidak terserang beragam virus penyakit yang berseliweran di sel pemenjaraan. (bersambung)

