-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 462)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 07 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


KITA ini kayak ikan teri ya, ayah,” ucap Teguh, yang duduk di sampingku. Di kursi paling ujung, menghadap ke belakang.


“Dinikmati aja, Guh. Bagusan ngumplek kayak ikan teri nggak laku gini, ketimbang disuruh lari dengan tangan diborgol dari rutan ke pengadilan,” jawabku, dan tertawa ngakak.


Spontan Teguh dan beberapa orang yang duduk di lantai mobil dekat kami, ikut tertawa. 


“Ada aja lo ayah ini ngejawab. Maksudku, kenapa sih nggak ditambah mobilnya, jadi nggak umplekan gini,” kata Teguh, setelah menghentikan tawanya.


“Soal itu bukan urusan kita, Guh. Inget, kita ini tahanan, semuanya diatur sama orang lain. Tugas kita cuma ikuti apa aja yang disuruh. Ngebantah berarti ngelawan. Ngelawan pasti masuk strafsel. Emang kamu mau,” ujarku, masih diiringi tawa.


“Ya nggak mau-lah masuk strafsel, ayah. Aku heran, kok ayah masih aja bisa bercandaan dalam kondisi kayak gini,” lanjut Teguh. Menatapku dengan serius.


“Dibawa enjoy aja sih, Guh. Kita kan emang sudah susah, jangan terus-terusan nyusahin jiwa dan pikiranlah. Biasain ngehibur diri sendiri. Nggak usah harepin orang lain yang ngehibur, sia-sia aja itu,” tanggapku.


Karena banyak berbincang riang, tanpa terasa kami telah sampai di kantor Pengadilan Negeri. Dari jendela mobil tahanan, aku melihat Laksmi, Laksa, dan tim pengacara telah menunggu kedatanganku. Hatiku pun berbunga-bunga. Pikiran tetap tenang dan terkendali. 


Aku masih menikmati makan siang bersama istri, adikku Laksa, dan pengacara di ruang khusus bagian belakang gedung Pengadilan Negeri ketika seorang pegawai kejaksaan datang dan memberitahu bila sidang segera akan dimulai.


Dengan terburu-buru aku mencuci tangan, dan menerima rompi warna merah dengan tulisan “Tahanan” yang dibawa pegawai kejaksaan untuk aku kenakan.


Istriku Laksmi, Laksa, juga Makmun dan timnya, segera menaruhkan sendok dan garpu yang mereka gunakan untuk makan, serta menutup kembali nasi beserta lauknya.


“Ayah yang santai ya bacain pembelaannya. Nggak penting nanti dianggep apa nggak sama majelis hakim, yang prioritas ayah sudah sampein kebenaran,” kata istriku Laksmi, saat kami meninggalkan ruangan yang selama ini menjadi tempatku bertemu istri dan keluarga setiap kali mengikuti persidangan. 


“Iya, bunda. Terimakasih supportnya. Semua yang terjadi dengan sebenernya, sudah ayah tuangin dalam pembelaan. Biar majelis hakim yang nanti menilainya,” ujarku, seraya memeluk Laksmi.


Laksmi beserta Laksa dan tim pengacaraku berjalan terlebih dahulu menuju ruang tempatku menjalani persidangan. Aku harus mengikuti protap dengan berbaris bersama tahanan lain yang akan bersidang hari itu. Di antara mereka, terdapat Teguh. Kali ini wajahnya sumringah. Percaya dirinya telah tumbuh kembali. 


“Seneng ngelihat kamu pede gini, Guh,” kataku, sambil menepuk bahu anak muda yang tinggal satu kamar denganku di rutan tersebut.


“Kan ayah yang ngajari. Jangan nunduk, angkat wajah dan tatap ke depan. Tetep pede aja,” balas Teguh, juga tersenyum.


Pegawai Kejaksaan Negeri yang bertugas mengawal tahanan menuju ruang sidang, memberi isyarat untuk kami mulai berjalan. Dengan posisi berbaris rapih, kami yang semuanya mengenakan rompi warna merah khas pesakitan, mengikuti langkah pegawai tersebut. Hingga akhirnya masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar.


Belasan pengunjung sidang yang terdiri dari keluarga terdakwa telah memenuhi ruangan. Ingin menyaksikan secara langsung persidangan keluarga masing-masing. Juga tampak beberapa wartawan, yang terus aktif mengambil gambar kami, para pesakitan.


Seperti biasa, aku duduk berdampingan dengan istriku Laksmi dan adikku Laksa. Saat aku genggam dengan erat telapak tangannya, istriku menatapku dan tersenyum. Terasa nyaman batinku, juga tenang pikiranku yang semula disesaki oleh berbagai rasa yang tidak menentu.


“Ayah perlu tahu ya, buat bunda dan anak-anak, yang penting ayah berani sampein kejadian yang sebener-benernya. Terserah nanti punya nilai apa nggak buat majelis hakim dalam ambil keputusannya. Hukuman di dunia ini cuma sebentar, tapi bisa sangat menyakitkan kalau ayah nggak berani sampein kebenaran. Karena peradilan akherat pasti nunggu kita semua pada waktunya nanti,” tutur istriku, beberapa saat kemudian.


Kertas pembelaan pribadiku telah diketik dan di-print dengan rapih. Dimasukkan map tersendiri oleh istriku. Aku sempatkan untuk membaca kembali pledoi tersebut. Mendadak badanku bergetar ketika mengurai begitu apiknya rekayasa menjebakku dalam perkara ini.


“Yang tenang ya, kak. Jangan dalem-dalem amat rasain kedzoliman yang kakak alami. Tunjukin kakak tetep bisa kendaliin perasaan dan tegar,” bisik Laksa, yang menyadari adanya gelegak tidak beraturan di dalam jiwaku. 


“Kadang emang sulit ngendaliin perasaan, dek. Terimakasih selalu diingetin,” jawabku, sambil menatap wajah Laksa. Adik istriku yang selalu mendampingi kami tersebut, tersenyum. Penuh ketenangan.


Jaksa penuntutku masuk ruangan dan duduk di tempatnya. Memberi isyarat kepada pengacaraku untuk juga segera mengambil posisi seperti biasanya. Dengan pergerakan tersebut aku memahami, sebentar lagi tiga orang hakim yang menjadi pengadil perkaraku, akan memasuki ruang sidang.


Dan benar saja. Setelah panitera memasuki ruangan, majelis hakim pun mengikuti. Spontan, kami semua yang ada di ruangan, berdiri di tempatnya masing-masing. Memberi penghormatan kepada para Wakil Tuhan yang akan menjalankan tugasnya.


Ketua majelis hakim memintaku maju ke depan. Duduk di kursi pesakitan. Setelah mencium istriku dan menepuk bahu Laksa, sebagai wujud meminta izin mereka untuk aku memulai langkah mengikuti proses sidang hari itu, baru aku beranjak dari kursi pengunjung.  


Tanpa berbasa-basi, ketua majelis hakim membuka persidangan. Matanya nanar menatapku yang duduk di kursi pesakitan. Dari kaki hingga kepalaku tampak sangat ia perhatikan dengan serius.


“Sudah siap dengan pembelaan pribadi?” tanya ketua majelis hakim, tiba-tiba.


“Sudah, Yang Mulia,” jawabku, pendek.


“Kalau begitu, langsung saja disampaikan,” lanjutnya.


Aku membuka map dan menyerahkan pledoi yang telah di-print oleh istriku kepada ketiga hakim, juga dua jaksa penuntut, dan tim pengacaraku. (bersambung)

LIPSUS