Oleh, Dalem Tehang
PAK Manto membuka jendela yang ada di ruangannya. Ia memintaku mendekat. Dan menunjuk ke arah luar. Kawasan perumahan penduduk tampak sangat dekat dan begitu nyata.
“Nggak kayak lagi ditahan kan bang, kalau jendela dibuka gini. Kayak kita lihat rumah tetangga aja,” kata pak Manto, dan tersenyum lebar.
Aku pun tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Bersyukur di dalam hati, karena terus diberi kemudahan oleh Sang Maha Pengatur dalam menjaga kenyamanan saat menjalani hukuman.
Tidak lama kemudian, Pak Manto mengajakku berkeliling ke dua ruangan lain, dan memperkenalkanku kepada beberapa staf yang ada disana. Semua pegawai pada bagian umum cukup ramah dan bersahabat menyambut uluran tanganku. Terang-terangan pak Manto langsung menyebutku sebagai pengganti Yoga nantinya.
Ketika keluar ruangan staf, aku melihat ke arah kiri. Ternyata terbuka lebar tanpa ada pintu, dan seluruh area steril rutan sangat mudah terpantau. Dengan rasa penasaran, aku pun berjalan dan berdiri di tembok pembatas. Memastikan pandangan yang demikian luas melihat seluruh area terbatas di dalam rumah tahanan negara tersebut. Sebuah suasana yang seakan menempatkanku lepas sebagai bagian dari keterkungkungan.
“Enak kan mantau pergerakan di dalem dari sini, bang. Yang jelas, nanti abang kalau terima kunjungan, cukup masuk gerbang utama langsung naik kesini. Nggak perlu ke ruang kunjungan umum. Kan ngobrolnya bisa lebih santai kalau disini, duduk di sofa besar itu,” kata pak Manto, yang berdiri di sebelahku.
“Alhamdulillah, terimakasih banyak atas fasilitasnya, pak,” ujarku dengan sungguh-sungguh.
“Sama-samalah, bang. Kita kan sudah sewajarnya saling bantu. Apalagi komandan yang rekomendasiin abang, saya pasti oke. Karena kami memang satu angkatan jadi pegawainya, dan selalu ketemu di tempat tugas yang sama puluhan tahun ini,” sahut pak Manto.
Kami melanjutkan perbincangan dengan duduk di sofa besar yang ada di depan ruang kerja pak Manto. Sampai kemudian datang seorang pria muda berbadan besar dengan usia sekitar 40 tahunan, membawa map berisi berkas di tangannya.
“Nah, ini Yoga, bang. Yoga, ini bang Mario. Ini abang kita yang mau gantiin kamu,” kata pak Manto.
Dengan gerakan cepat, pria berwajah ganteng yang memiliki kulit putih bersih itu pun mendekat. Menyalamiku dengan kedua tangan, seraya menyebutkan namanya penuh percaya diri. Dan setelah menaruhkan map berisi berkas yang dibawanya ke meja kerja pak Manto, ia duduk bersama kami.
“Abang kan tinggal di kamar 30 ya. Sering sih lihatnya, tapi belum sempet kenalan,” kata Yoga, membuka pembicaraan.
“Iya, aku di kamar 30, Yoga. Sama, aku juga sering lihat kamu. Alhamdulillah, akhirnya kita kenal ya berkat komandan dan pak Manto. Tolong ajari dan bimbing aku sebelum kamu bebas ya, biar langsung bisa lanjutin tugas-tugasmu,” kataku.
“Santai jadi tamping di bagian umum ini mah, bang. Bisa dibilang kerjaannya cuma ngawanin Bos ngobrol aja. Paling, ya nganter surat ke kantor di bawah,” sahut Yoga, dengan raut wajah penuh simpati.
“Kerjaan Yoga ini kan cuma main games aja, bang. Dan kalau sudah asyik main, nggak peduli sama lingkungan. Makanya, sering saya ajak ngobrol, biar dia nggak kebiasaan jadi avonturir,” sambut pak Manto, dan tertawa ngakak.
“Kamu tinggal di kamar tamping ya selama ini, Yoga. Di kamar berapa?” tanyaku.
“Iyalah, bang. Nyampur sama tamping yang lain. Aku di kamar 4, bang,” sahut Yoga.
“Memangnya ada kewajiban tamping harus sekamar dengan tamping ya, pak?” tanyaku kepada komandan, yang sejak tadi asyik bermain dengan gadgetnya.
“Mestinya begitu, pak. Untuk mudahin kontroling dan mobilisasi gerakan tamping. Tapi, kalau pak Mario pengen tetep di kamar sekarang, ya nanti kita atur. Apa yang nggak bisa diatur atau dirubah di dunia ini, kecuali Alqur’an,” jawab komandan, dengan santainya.
“Emang abang nggak mau ya di kamar tamping?” tanya Yoga, sambil menatapku dengan serius.
“Nggak gitu juga sih, Yoga. Kalau itu emang sudah jadi keharusan, ya aku taat sama aturannya. Tapi, kalau bisa diatur seperti kata komandan tadi, kenapa nggak aku tetep di kamar yang sekarang aja,” kataku, dengan santai.
Suara adzan Ashar dari masjid di dalam kompleks rutan menggema dengan kencangnya. Komandan mengajakku kembali ke pos penjagaan luar. Setelah berpamitan dengan pak Manto dan Yoga, aku mengikuti langkah komandan. Beberapa sipir yang bertugas di P-2-O dan mengenalku, sempat menyapa. Kami pun bersalaman.
“Pakde mau gantiin Yoga ya?” tanya salah satu sipir di P-2-O yang mengenalku.
“Rencananya sih gitu, tapi semua terserah komandan aja,” jawabku, seraya tersenyum.
“Sip kalau pakde di bagian umum. Kita bisa sering ketemu dan ngobrol-ngobrol. Kata beberapa kawan, pakde ini banyak ide dan pinter memotivasi orang, kayak punya ilmu sihir,” lanjut sipir tersebut, dan tertawa.
Aku pun tertawa menyahuti perkataannya. Tampak komandan yang berjalan di sebelahku hanya tersenyum. Dan setelah pintu kecil yang membelah gerbang besar P-2-O dibuka, kami kembali ke pos penjagaan. Beberapa saat kemudian aku berpamitan, untuk langsung ke masjid. Mengikuti solat Ashar berjamaah.
“Babe ini kayak hantu aja, tiba-tiba muncul di mesjid,” kata pak Waras, ketika melihatku bergerak meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar.
“Emang pak Waras bisa ngelihat makhluk halus ya?” balasku, dengan tertawa.
“Inilah yang aku suka dari babe, ada aja celetukannya yang nggak kepikir sebelumnya sama orang lain,” sambut pak Waras, dan memukulkan sajadah yang dibawanya ke pundakku.
Ketika berjalan melewati tepian lapangan, tampak beberapa orang tengah melakukan pemanasan untuk bermain volly. Di antaranya Didit, pelatih tim volly Blok B, dan Hamid, pelatih tim Blok A. Melihatku berjalan di dekat tempat mereka sedang melakukan pemanasan, keduanya mendekat.
Setelah bersalaman, mereka mengajakku bermain volly petang itu. Namun aku menolak dengan halus. Beralasan jika kondisiku sedang kurang fit. Didit langsung menjanjikan akan mengirim suplemen untuk aku minum.
“Nanti aku anter ke kamar, bang. Ada stok vitamin bagus untuk jaga kondisi badan. Kawan dari luar negeri, kemarin bawain aku,” kata Didit dengan wajah serius.
“Oh ya. Alhamdulillah. Terimakasih sebelumnya ya, Dit. Ya sudah, kalian aja dulu yang main hari ini. Kalau aku sudah fit, pasti aku mau main juga,” tanggapku, dan meneruskan langkah bersama pak Waras menuju pintu utama Blok B untuk kembali ke selku. (bersambung)

