Oleh, Dalem Tehang
“JADI, intinya harus siap segalanya ya, kap,” tanggap Anton, antusias.
“Iya, itulah kuncinya ngebina rumah tangga, Anton. Kalau siapnya cuma buat seneng-seneng aja, begitu ketemu susah, beda pandangan sama istri, atau kekurangan materi, bisa kelimpungan nggak karuan akhirnya,” jelas kap Yasin.
“Kayaknya Anton belum siap deh kap untuk nikah,” kata Teguh, setelah berdiam beberapa saat.
“Kenapa gitu, Guh?” tanya Anton dengan cepat.
“Gayamu itu, Anton. Kamu kan biasa seneng, biasa selalu punya. Kebiasaanmu ngandelin orang tua, aku lihat sangat berlebihan. Sikap mandirimu nol besar, dan itu buat mentalmu belum siap,” urai Teguh.
“Mungkin dulu-dulu iya gitu, Guh. Tapi, kamu lihat sendiri selama disini. Aku tetep bisa jalani hidup susah, bahkan semerana ini. Separah apapun kondisi kita, aku tetep bisa enjoy, bisa ketawa, dan bergaul sama orang lain dengan baik. Bahkan, orang tuaku yang nggak mau kunjungi atau nyingkirin aku aja, aku bisa terima dengan lapang dada,” tanggap Anton, panjang lebar.
“Aku acung jempol sama semangatmu buat nikah, Anton. Cita-citamu itu bagus. Pasti kami semua doain rencanamu terwujud,” tutur kap Yasin, dengan wajah serius.
“Nah, kalau denger jawabanmu kayak gini, aku baru yakin, mentalmu sudah siap buat nikah. Lanjutin program utamamu setelah bebas nanti, Anton. Aku ngedukung,” ucap Teguh, beberapa saat kemudian, dan tertawa lebar.
Baru saja aku keluar kamar mandi seusai mencuci tangan, setelah menyelesaikan makan malam bersama, tampak seorang tamping berdiri dari balik jeruji besi. Pak Waras memberi isyarat kepadaku, bila tamping tersebut mencariku.
“Pakde, ditunggu komandan di pos,” ucap dia, setelah aku mendekat ke jeruji besi.
Segera aku mengambil jaket yang ada di loker, membawa rokok dan korek, setelah tamping kunci membuka gembok kamar. Usai meminta izin kepada kap Yasin, juga kawan-kawan sekamar, aku keluar dan jalan beriringan dengan tamping yang menyusulku. Menuju pos penjagaan dalam.
Komandan pengamanan rutan yang banyak membantu sejak aku menjadi warga binaan, langsung meninggalkan papan caturnya begitu melihatku masuk ke ruang pos penjagaan.
“Kita ngobrol di luar aja, pak. Tolong buatin kopi untuk pak Mario ya. Tanpa gula,” ujar komandan, dan berjalan menuju ke teras depan pos, meminta tamping membuatkan untukku secangkir kopi pahit.
Setelah kopi pahit dihidangkan, bersama dengan satu bungkus martabak, barulah komandan mengajakku bicara serius.
“Sebentar lagi kan bapak sudah vonis, apa rencananya nanti,” ucap dia, sambil menyulut sebatang rokok yang sejak tadi ada di tangannya.
“Yang rinci sih belum kepikir, pak. Cuma globalnya, ya mau perbanyak belajar agama dan berusaha maksimal ngamalinnya,” jawabku, apa adanya.
“Kepikir nggak, misalnya, pindah ke lapas. Atau pengen ada kegiatan lain buat ngisi waktu di sela-sela belajar agama,” lanjut komandan.
“Kalau pindah dari sini, kayaknya nggak deh, pak. Aku sudah ngerasa nyaman disini. Lagian, kalau pindah ke lapas, pasti memulai semuanya dari nol lagi. Ngabis-ngabisin waktu aja. Tapi, ya memang belum kepikir mau gimananya, yah nanti biar bergulir ajalah,” kataku.
“Begini, saran aja ini. Sebaiknya, manfaatin waktu biar nggak bete dengan ada kegiatan lain. Misalnya, bantu-bantu di kantor. Saya denger, tamping di bagian umum sudah mau bebas bulan depan, gimana kalau bapak jadi gantinya. Tempatnya enak, bahkan bisa dibilang paling enak dibanding tamping tempat lain,” tambah komandan. Matanya menatap wajahku lekat-lekat.
“Maksudnya gimana, pak. Tempatnya enak itu gimana?” tanyaku. Penasaran.
“Ruang kabag umum itu pas di lantai atas pintu gerbang utama. Jadi, kalau bapak lihat keluar dengan buka jendela, rumah-rumah penduduk juga kelihatan. Dan kelebihan lainnya, kalau keluarga mau kunjung, cukup masuk gerbang utama langsung naik tangga. Nggak perlu lewat gerbang kedua, sebelum nuju ruang kunjungan umum. Lebih privacy tempatnya,” urai dia.
“Terus apa yang dikerjain disana nanti?” tanyaku lagi.
“Yah, paling juga nyortir surat-surat masuk. Anter surat ke kepala rutan atau bagian-bagian lain sesuai peruntukannya. Kalau yang ngetik surat, sudah ada staf. Nggak perlu bapak ngetikinnya,” jelas komandan.
“Boleh juga dicoba kalau gitu, pak. Tapi aku kan nggak kenal sama kabag umumnya,” tanggapku, dengan sukacita.
“Kabag umumnya kawan deket saya. Bahkan kami satu angkatan. Saya sudah pesenin sama dia, kalau tamping yang sekarang bebas, saya siapin penggantinya. Tentu kalau bapak berkenan,” ujarnya lagi. Ada rona bahagia di wajahnya.
“Bisa dikenalin dulu kalau gitu ya, pak. Biar tahu apa nanti tugasku kalau jadi tamping disana,” sambungku, penuh antusias.
“Besok siang saya kan piket lagi, nanti saya kenalin. Orangnya enak. Hampir seumuranlah sama bapak,” komandan menambahkan.
“Siap, pak. Terimakasih banyak atas bantuannya mikirin kegiatanku biar nggak bete setelah vonis nanti,” kataku, dengan tersenyum.
“Santai ajalah, pak. Disini kalau kita bawa enjoy, ya enak-enak aja jalani hukuman. Sebaliknya, di luar sekalipun kalau dibawa susah hati, ya susah itulah rasanya,” ujar komandan, juga sambil tersenyum.
Setelah sekitar dua jam kami berbincang, aku pun berpamitan. Kembali ke kamar. Tamping kunci yang membukakan gembok, aku sedekahi uang Rp 10.000.
“Banyak amat ini, om. Nggak biasanya,” kata tamping itu saat menerima uang dariku.
“Sedekahku ini. Wujud rasa syukur. Gunain buat beli makanan, biar berkah,” ucapku, dan kembali menebar senyuman.
Kap Yasin yang masih mengobrol santai dengan kawan-kawan di ruang depan, langsung menanyaiku mengapa komandan memanggilku malam-malam.
“Ngajak ngobrol aja, kap. Nggak ada yang penting,” kataku, dengan santai.
“Syukur kalau gitu, om. Kirain ada yang penting nyangkut om,” tanggap kap Yasin. Ada nada khawatir dalam ucapannya.
Seusai menggantungkan jaket di tembok samping tempat tidur, aku ikut menimbrung dengan kawan-kawan di ruang depan. Pak Ramdan bergerak untuk membuatkanku minuman kopi, namun aku menolak. Karena sudah meminum kopi dengan komandan di pos penjagaan dalam. (bersambung)

