Oleh, Dalem Tehang
SETELAH melepaskan pelukan eratnya, Abah kembali duduk di kursinya. Ia menyulut sebatang rokok, dan menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskan asap dari mulutnya dengan perlahan. Begitu menikmati proses perokokannya tersebut.
Matanya yang tajam bagaikan mata elang, terus menatap wajahku. Seakan ingin menelisik hingga ke tulang-tulangnya.
“Abah ini sejak muda memang dikenal sebagai preman, adek haji. Baik oleh lingkungan maupun banyak kelompok di masyarakat. Tapi, kalau soal ibadah, inshaallah abah nggak pernah tinggal. Jadi jangan heran, kalau abah bisa kasih adek haji pesen dari kiyai besar buat kita,” tutur Abah, beberapa saat kemudian.
Aku hanya menganggukkan kepala. Memahami apa yang ia ucapkan. Meski sempat heran dengan apa yang sebelumnya ia sampaikan. Bagaimana bisa seorang penjahat besar, demikian fasih mengurai petuah penting seorang ulama besar dari Bangkalan, Madura, yang melegenda.
Sementara, anak buah Abah yang duduk penuh khidmat, menatap bosnya dengan pandangan serius. Seakan menunggu pitutur selanjutnya. Khas gaya cantrik.
“Setelah beberapa kali masuk bui, dan sudah bertaubatan nasuha, sekarang abah sadari, kapan saja Allah bisa mengubah nasib seseorang, termasuk abah. Siapa yang bisa jamin abah bernasib baik, meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah,” lanjut Abah. Suaranya bergetar hebat.
Kami semua yang duduk di sekitar Abah hanya menatapnya, terus mencoba menjadi pendengar yang baik dari perkataan tokoh napi senior itu.
“Pertanyaan itulah yang mendorong abah untuk bersujud dan berdoa kepada Allah, agar tidak menjadikan abah merasa aman terhadap rencana Allah. Harapan abah sekarang, semoga Allah selalu memelihara kesehatan dan menutup aib-aib abah,” katanya lagi.
Mata Abah memerah. Menahan bercucurnya airmata. Sebuah suasana batin yang begitu hebat menderita jiwanya. Sebuah penyadardirian seorang hamba akan kenisbian yang dimiliki, serta pengakuan atas berjuta dosa dan salah yang menghiasi hidupnya selama ini.
“Maaf, abah. Jadi gimana dengan bang Mario? Apa harus beri jawaban sekarang, atau kayak mana?” tiba-tiba Danil, menyela.
Abah kembali menatapku dengan pandangan tajam. Begitu kuat desakan sorot matanya aku rasakan “memaksa” masuk ke mataku. Diam-diam, aku melakukan “perlawanan”. Aku tatap kembali matanya dengan sinar kelembutan. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk-anggukkan kepalanya, seraya tersenyum. Dan, tatapannya pun beralih dari mataku.
“Adek haji ini orang baik. Nggak mau nyakiti, walau sudah disakiti. Teruslah rendah hati. Alam semesta nanti yang akan bantu adek haji,” ujar Abah, beberapa saat kemudian.
Aku mengaminkan, seraya tersenyum kepada abah. Para anak buah abah, ikut menganggukkan kepala. Seakan memahami apa yang “terjadi” antara bosnya denganku, beberapa saat yang lalu.
“Abah nggak maksa adek haji buat gantiin abah ngedidik mereka-mereka ini. Cuma abah titip, jadikan mereka sebagai saudara. Karena kita sama-sama manusia, dan manusia memang sudah digariskan penuh salah dan khilaf. Nggak ada yang sempurna,” kata Abah, melanjutkan perkataannya.
“Inshaallah, abah. Hanya saja, aku perlu waktu untuk istikharah,” ucapku.
“Bagus itu, adek haji. Sebelum mengambil suatu keputusan, berdialog dan meminta petunjuk Pengeran. Abah suka sama orang yang apa adanya, tanpa topeng, tanpa basa-basi. Memang, yang kayak gini, nggak akan banyak teman. Tapi sekali dapetin teman, itu sebuah kabar gembira. Sebab, hanya sahabat sejati yang bisa memahami kita apa adanya,” tanggap Abah, dengan panjang lebar.
Beberapa saat kemudian, aku berpamitan. Menyalami Abah dengan kedua tangan dan menundukkan wajah. Penuh hormat. Dan seusai bersalaman dengan kawan-kawan yang selama ini bersama abah, aku pun berjalan meninggalkan kantin. Bergegas untuk kembali ke kamar.
Sesampai di kamar dan mandi sore, aku membuka Alqur’an. Melanjutkan membaca kitab suci tersebut. Hingga terdengar suara mengaji dari masjid, pertanda sebentar lagi waktu solat Maghrib tiba.
Rudy masuk kamar dengan tergopoh-gopoh, dan langsung menuju ke tempatku mengaji. Menyalami sambil mencium tanganku. Berkopiah dan sarungan, anak muda itu membawa Alqur’an, yang didekap di dadanya.
“Kamu sudah mulai belajar baca Qur’an ya, Rud?” tanyaku.
“Alhamdulillah, hari ini sudah mulai, om. Mohon doanya ya, om. Seneng Rudy sudah mulai bisa baca Alqur’an gini. Sampai pengen nangis tadi waktu keluar dari kamar pak Anas sambil jalan ke kamar,” ujar Rudy, ada air bening di kedua sudut matanya.
“Alhamdulillah. Bagus kan cara pak Anas ngajarinnya?” tanyaku lagi.
“Iya, bagus bener, om. Mana sabarnya itu luar biasa. Beberapa kali Rudy salah baca, dengan pelan dia benarkan. Adem rasanya deket sama pak Anas itu ya, om,” ujar Rudy, kali ini ada senyum semringah di bibirnya.
“Pak Anas itu orang alim, Rud. Istiqomahnya sudah mateng. Jadi, pengaruh positifnya menyebar ke sekeliling. Sayang kalau kawan-kawan yang sekamar dengan dia, nggak manfaatin buat belajar agama,” kataku lagi.
“Tadinya Rudy sempet ragu, om. Mulai hari ini apa besok ya belajar ngajinya. Tapi Rudy inget kalimat di sebuah buku yang baru selesai dibaca. Disana ditulis; menunda bisa membuat hari ini mudah, tapi hari esok lebih sulit, sedang disiplin membuat hari ini jadi sulit, tapi hari esok lebih mudah. Akhirnya, Rudy mantepin hati. Nggak nunda lagi. Ya, Alhamdulillah, rencana ngajinya jalan dengan baik, bahkan nyenengin,” lanjut Rudy, dengan panjang lebar.
“Alhamdulillah. Terus bersyukur atas hidayah yang kamu terima ya, Rud. Sekuat apapun kita punya keinginan, kalau hidayah belum dikasih sama Yang Kuasa, nggak bisa juga kita wujudinnya. Kamu termasuk orang yang terpilih,” kataku.
Tampak Rudy mengusap kedua matanya. Memang, ada airmata keharuan sekaligus kebanggaan disana. Airmata seorang anak manusia yang mulai menemukan alur kehidupan selaras perintah Sang Pencipta.
Suara adzan Maghrib menggema dengan kencangnya. Mengalun syahdu, membius keriuhrendahan penghuni rutan. Berganti dengan kebergegasan berebutan berwudhu di kamar masing-masing.
Suasana peribadatan begitu kentalnya terasakan. Pada setiap kamar selalu diwarnai dengan solat jamaahan. Suara bacaan ayat-ayat Alqur’an pengisi solat pun bersahutan. Ekspresi nyata pengakuan kemakhlukan, bersujud kepada Yang Maha Berkekuasaan. (bersambung)

