-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 279)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Kamis, 06 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SEKELUAR dari masjid, Rudy mengajakku berjalan cepat untuk kembali ke kamar. Karena hujan semakin deras.


“Kalau subuh-subuh sudah hujan gini, enakan tidur lagi ya, om,” kata Rudy, saat kami telah di kamar.


“Tidur aja lagi kamu, Rud. Om mau baca Alqur’an,” sahutku. 


Dan setelah mengambil kitab suci, aku duduk di ruang depan. Karena di tempat kasurku, masih ada Dino dan Basri yang tengah terbuai mimpi. Diiringi suara mengoroknya yang cukup keras.


Dengan perlahan, aku mulai membaca dan menelaah makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Alqur’an. Rudy yang semula merebahkan diri di kasur tipisnya untuk tidur kembali, akhirnya duduk. 


Ia mendengarkan ayat Alqur’an yang sedang aku baca. Ia memintaku, membacakan arti setiap ayat dengan agak keras, sehingga ia bisa ikut memahaminya.


Sementara, di luar kamar, hujan semakin deras. Tampias airnya beberapa kali masuk ke ruang depan, terbawa angin sepoi. Rudy bergeser. Melipat kasurnya, dan duduk di kursi, di sebelahku.


Setelah satu jam, ku akhiri kegiatan membaca Alqur’an dan arti setiap ayatnya, pagi itu.


“Kok sudah, om?” tanya Rudy, yang merasa kenikmatannya mendengarkan ayat-ayat Tuhan, terputus.


“Kata pak Anas, baca Qur’an itu bukan soal lama atau jumlah ayatnya, Rud. Tapi, istiqomah kita dan mahami apa yang ada di dalam ayat-ayatnya,” jawabku. 


“Iya juga ya, om. Pak Anas juga pernah bilang ke Rudy, jangan pandang berapa banyak ibadah seseorang, tapi pandanglah sejauh dan sekuat apa dia bertahan untuk meninggalkan maksiat,” ucap Rudy.  


Saat aku meletakkan kembali Alqur’an ke tempatnya, di rak panjang tepat di atas tempatku tidur, Rudy bergerak. Memasak air dari galon dengan teko listrik. Menyiapkan kopi pahit buatku, dan teh manis untuk dirinya.


“Om mau sarapan apa? Kalau mau mie, Rudy buatin. Atau nanti beli nasi aja. Kan masih banyak lauk dari istri om kemarin,” kata Rudy.


“Beli nasi putih aja nanti, Rud. Enakan sarapan sama lauk bawaan istri. Walau dari beli, rasanya pasti beda. Lebih nikmat,” sahutku.


“Kenapa kalau bawaan istri, om gitu semangat dan yakin bakal enak,” ujar Rudy, menyela.


“Nggak mungkin istri kasih sesuatu yang nggak enak sama suami, Rud. Dia bahkan rela nggak makan, kalau suaminya belum makan. Dan kamu perlu tahu, nggak ada kebersamaan yang lebih besar di antara dua ruh, dibandingkan kebersamaan pasangan suami istri,” kataku dengan tersenyum.


Seusai menaruhkan secangkir kopi pahit di meja ruang depan tempatku berada, Rudy membuka lemari makan. Ia mengambil satu bungkus roti pemberian adikku Mohan yang datang bersama adikku Azka, dan istri serta anak-anakku, akhir pekan kemarin.


Hujan masih cukup deras, tamping kunci lewat di depan kamarku. Ia meminta roti. Rudy memberinya satu potong. Setelah menganggukkan kepalanya sebagai tanda terimakasih, tamping itu bergerak. Ke kamar 19. Terdengar kunci gembok sel dibuka. 


Tidak lama kemudian, muncul Ino di depan pintu kamarku. Dan buru-buru masuk. Karena curah hujan terus mengucur. 


“Rud, tolong buatin kopi sih,” kata Ino, setelah menyalami dan duduk di kursi sebelahku. 


“Nggak sopan om Ino ini. Dateng-dateng minta buatin kopi. Mbok iya, sesekali bawain kopi sama gula kesini,” sahut Rudy dengan enteng.


Meski mengeluarkan celetukan yang kurang mengenakkan, namun Rudy tetap memenuhi permintaan Ino. Ia memasak air dari galon dan setelahnya membuatkan kopi manis untuk pria bertubuh tambun yang terseret kasus pembelian pasir tanpa dokumen tersebut.    


“Terimakasih kopinya ya, Rud. Om doain, keluar nanti kamu langsung dapet jodoh,” ucap Ino, saat Rudy menaruhkan secangkir kopi untuknya.


“Kenapa doanya gitu, om?” tanya Rudy.


“Yah, biar kamu cepet berkeluarga aja. Jadi kamu makin dewasa, dan makin hati-hati ke depannya,” kata Ino, dengan santai.


“Emang kalau belum punya istri, nggak dewasa ya, om?” tanya Rudy lagi.


“Nggak gitu juga sih, Rud. Dewasa nggaknya orang itu bukan dinilai dari umur, juga sudah berkeluarga apa belum. Tapi setidaknya, kalau sudah punya istri, kamu makin hati-hati dalam lakuin apapun,” jelas Ino.


“Lha nyatanya, di rutan ini lebih banyak yang sudah berkeluarga dibanding yang bujangan, om,” ucap Rudy, menyela dengan cepat.


“Jangan pula kamu bandingin gitulah, Rud. Ini om cuma kasih tahu dan nyampein harapan buatmu. Ya, kalau kamu nggak terima, nggak apa-apa. Kita kan emang nanggung sendiri apapun kehidupan yang kita jalani. Kebetulan aja kita ditemuin disini, saling kenal, dan berkawan. Tapi ya tetep, hidupmu ya urusan kamu, hidup om ya urusan om,” kata Ino, panjang lebar.


“Jangan gampang ngambekan gitu sih, om. Rudy kan cuma tanya aja. Maaf kalau ada omongan Rudy yang salah,” tanggap Rudy, seraya mengatupkan kedua tangan di dadanya. Meminta maaf.


Ino tidak menjawab. Ia memilih memulai menikmati kopi manis yang telah dibuatkan Rudy. Ia mengambil rokok di kantong celananya. Satu batang. Dan menyulutnya. Sesaat kemudian, ia menghisap dalam-dalam rokok di tangannya, dan dihembuskan asapnya dengan perlahan. Berulangkali, ia melakukan hal yang sama.  


Melihat gaya Ino menikmati rokok, aku paham bila ia tengah didera kegalauan. Ada seberkas ketidaktenangan di relung jiwanya. Ada putaran tidak terkendalikan pada sebagian pikirannya.


“Kamu kenapa, Ino?” tanyaku, beberapa saat setelah Ino kembali meneguk minuman kopinya.


“Nggak kenapa-kenapa sih, om,” sahut Ino, pendek.


“Syukur, kalau semua baik-baik aja. Mudah-mudahan emang begitu,” kataku, lanjut.


Ino menatapku. Matanya yang memiliki tatapan sendu, kian temaram. Senyum yang sempat melintas di sudut bibirnya pun, hanya gerakan tanpa makna. Hampa. Aku biarkan ia yang tengah bertarung dengan keraguannya. Menceritakan masalahnya, ataukah tetap menyembunyikannya.


Sampai kemudian, Rudy memberitahuku jika ia akan ke kantin, membeli nasi putih. Aku berikan sejumlah uang untuk membeli nasi putih. Empat bungkus.


“Kok empat, om?” tanya Rudy, sambil menerima uang dariku.


“Ya kan kita bertiga om Ino-nya, satu lagi buat kalau ada yang mau nambah sarapannya,” ujarku.


“Masak sarapan nambah, nggak wajar itu mah, om,” tanggap Rudy, seraya tertawa.


“Nggak usah ngomong wajar nggak wajar, Rudy. Tugasmu cuma beli nasi putih empat bungkus. Sudah, lakuin aja,” mendadak Ino menimpali dengan nada tinggi. 


Tanpa berkata apapun, Rudy langsung keluar kamar. Berjalan menepi di teras kamar, untuk sampai ke pintu utama Blok B. Dilanjutkan melewati selasar yang memanjang, baru sampai di kantin. 


Sekira 15 menit kemudian, Rudy telah kembali. Membawa empat bungkus nasi putih. Ia menyiapkan piring dan peralatan makan lainnya. Pun mengeluarkan lauk-lauk pemberian istriku dari lemari.


“Ayo kita sarapan dulu, Ino. Disyukuri dan nikmati rejeki ini,” kataku mengajak Ino untuk segera mengambil sarapan juga.


Selama kami sarapan, tidak ada satu pun yang berbicara. Semua terfokus kepada makanan masing-masing. Saat itu tersadari, jika dalam sunyi dan keheningan, banyak hal yang sebenarnya dapat diperdengarkan. (bersambung)

LIPSUS