-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 361)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 27 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang   

 

SAAT kami masih berjalan santai mengelilingi lapangan sepakbola, beberapa pegawai rutan tampak tengah sibuk mengangkat berbagai peralatan pengeras suara. Sound system dan sebagainya.


Berbagai peralatan pengeras suara tersebut, termasuk sebuah mike, ditempatkan di atas panggung tinggi yang berjarak sekitar lima meter dari tepian lapangan. Yang selama ini menjadi tempat inspektur upacara berdiri, bila tengah dilangsungkan kegiatan apel pegawai dan sipir. 


“Mau ada apa ya, be?” tanya pak Waras, melihat beberapa pegawai rutan sedang sibuk mempersiapkan berbagai peralatan pengeras suara tersebut.


“Paling juga mau senam sehat bareng-bareng, pak. Kan emang rutin sebulan sekali,” jawabku, sambil terus berjalan.


Dan benar saja, setelah semua perangkat pengeras suara siap, terdengar pemberitahuan kepada semua penghuni rutan untuk segera keluar kamar masing-masing guna mengikuti senam sehat bersama di lapangan.


Sesaat setelah penyampaian pemberitahuan, beberapa orang sipir yang tengah bertugas, langsung bergerak. Masuk ke masing-masing blok yang ada, dan menggedor setiap kamar. Kegiatan senam sehat memang menjadi sebuah agenda yang wajib diikuti seluruh penghuni rutan, tanpa kecuali. 


Suara musik keras pun membahana dari atas panggung. Bernadakan rock, musik itu menggelorakan semangat untuk semua penghuni rutan segera ke lapangan dan mengikuti kegiatan senam sehat.  


Tidak sampai 30 menit kemudian, seantero lapangan telah disesaki oleh ribuan tahanan. Semua bertelanjang dada. Hanya bercelana pendek saja. Bersamaan dengan itu, datang pemandu senam. Beberapa wanita muda cantik dengan pakaian minim khas pemandu senam.


Begitu mereka menaiki panggung, ratusan tahanan langsung mendekat. Hasrat ingin melihat dan menikmati dari dekat keindahan dan kemolekan tubuh wanita, tidak tertahankan. Hal yang bisa dimaklumi. Mengingat di dalam rutan semua penghuninya adalah laki-laki.    


Seorang pegawai rutan memandu acara senam. Sementara di tepian lapangan, para sipir seakan berbaris mengelilingi lapangan. Menjaga agar semua penghuni rutan masuk ke dalam lapangan untuk mengikuti kegiatan senam bersama.


Diiringi dentangan musik nan keras, pemandu pun memulai mengajak semua penghuni rutan mengikuti gerakan yang dilakukannya. Wanita-wanita muda lainnya menjadi pelengkap sang pemandu. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan memang tidak sepenuhnya senam yang selazimnya, karena banyak ditingkahi dengan goyangan badan yang merangsang syahwat. 


Maka, suasana pun menjadi gegap-gempita. Penghuni rutan bukan hanya dihibur dengan berolahraga, namun juga mendapatkan suguhan aksi eksotis para pemandu senam.


Beberapa penghuni rutan yang telah menyiapkan uang “saweran”, maju ke depan. Berjoget dengan salah satu pendamping pemandu senam. Bukan melakukan senam badan. Apalagi, musik pun seakan sengaja diputarkan yang bukan hanya menggelorakan semangat berolahraga, tetapi juga membangunkan jiwa laki-laki yang begitu merindukan belaian seorang wanita.


Setiap kali ada penghuni rutan yang naik ke panggung dan memberi “saweran”, suara teriakan pun membahana. Juga sorak-sorai dari sesama. Menyemangati. Sehingga panasnya sorot mentari yang semakin tinggi, seakan tidak membawa pengaruh apapun. 


Sekira 90 menitan kegiatan senam sehat dilangsungkan, dan setelahnya semua penghuni kamar dibubarkan. Pemandu senam berikut pengiringnya, meninggalkan panggung dan memasuki area steril di depan kantor rutan. 


“Mestinya, dua minggu sekali kegiatan kayak gini ya. Jadi bisa lebih fresh kita semua. Kalau sebulan sekali, kelamaan,” kata pak Edi, saat kami meninggalkan lapangan untuk kembali masuk ke Blok B.


“Nggak usah ngeritik, pak. Apalagi pakai bahasa semestinya, tahu diri aja kita ini siapa. Wong cuma tahanan kok banyak mau,” ujar kap Yasin, menimpali.


Aku, pak Waras, pak Sibli, dan beberapa kawan lain yang tengah berjalan bersama pak Edi dan kap Yasin, sontak tertawa. Memang, acapkali, untuk sekadar mengeluarkan uneg-uneg pun bisa berbalik menjadi cemoohan. Walau sesungguhnya, itu bagian dari percandaan yang biasa terjadi di dalam rutan.


“Aku ini sebenernya justru sudah pakai ilmu tahu diri lo, Yasin. Makanya, nyampein uneg-uneg sesama kita. Karena kita-kita inilah yang tahu bener gimana rasanya galau nggak karuan, bete sampai uring-uringan, dan kesel sampai ubun-ubun kalau jalani hari-hari cuma gini-gini aja,” kata pak Edi, beberapa saat kemudian.


“Jangan ngambek dong, aku kan bercandaan aja nanggepinnya tadi, pak. Dan memang, harus terus dikuatin ilmu tahu diri kita, biar nggak sedikit-sedikit kesel,” tanggap kap Yasin.


“Maksudnya, ilmu tahu diri itu kayak mana sih, kap?” tanya pak Sibli kepada kap Yasin.


“Gampangnya, ilmu itu buat ngukur diri kita sendiri, pak. Jujur sama diri sendiri maksudnya. Ngebedah apa adanya. Kita ini siapa, kejahatan atau kemaksiatan kita sebanyak apa, pengetahuan kita seperti apa, ibadah kita kayak apa, dan sebagainyalah. Intinya, ya ngebuka habis kelakuan selama ini, dan nemuin jalan buat perbaikinya ke depan. Itu juga kalau kita mau jadi baik. Kalau nggak mau, ya nggak apa-apa. Kan masing-masing nanggung hidupnya sendiri,” kata kap Yasin, panjang lebar.


“Oalah, maksudnya itu muhasabah to. Introspeksi diri. Ngapain juga pakai istilah ilmu tahu diri, buat aku nggak nyambung aja,” ujar pak Sibli, sambil tertawa. 


Kami duduk di gazebo yang ada di depan kamar pak Edi. Sambil ngangin. Karena semua masih tetap bertelanjang dada. Seorang penghuni kamar 34 mengeluarkan beberapa gelas air mineral, atas perintah pak Edi.  


“Nggak sekalian gorengannya, pak Edi?” tanya pak Waras, seraya tersenyum.


“Kalau gorengan kan harus beli, pak. Jam segini kantin baru buka. Jangan-jangan belum digoreng pula makanan ringannya,” jawab pak Edi, juga sambil tersenyum. 


Tiba-tiba kap Yasin berdiri dari duduknya dan berjalan. Kami memahami, ia akan ke kantin. Untuk membeli makanan ringan. Tidak lama kemudian, ia telah kembali dengan membawa tiga kantong plastik warna hitam yang berisi makanan.


“Banyak amat belinya, kap. Alhamdulillah,” kata pak Sibli, saat kap Yasin menaruhkan bawaannya di atas lantai gazebo.


“Nggak banyak kok, pak. Cuma beli 15 aja. Ada tahu, tempe, dan pisang goreng. Kita kan berlima, jadi dijatah masing-masing makan tiga, nggak boleh lebih,” sahut kap Yasin, dan tertawa ngakak.


“Lebih enak kalau sambil ngopi sebenernya kongkow gini ya,” pak Sibli, menyeletuk.


“Kalau mau ngopi, ya bawa masing-masing dong, pak. Masak aku yang mau nanggung sendirian,” ucap pak Edi dengan cepat. Diiringi suara tawanya.


Perutku mendadak merasa mulas. Bergejolak tidak menentu. Akibat memakan beberapa cabai sebagai pelengkap mengunyah tahu isi. Segera aku berpamitan untuk kembali ke kamar. Meninggalkan kawan-kawan yang bercengkrama.


Sesampai di kamar, sekalian aku mempersiapkan pakaian ganti karena ingin langsung mandi. Dengan memakai celana pendek jeans belel dan kaos tanpa lengan, aku kembali ke gazebo. Bergabung dengan kawan-kawan yang masih asyik berbincang ringan.


Di saat kami masih terlibat obrolan, datang seorang tamping regis. Memberitahuku bila ada kunjungan. Istriku yang datang. Spontan, aku berdiri dan masuk ke kamar untuk mengambil pakaian kotor yang telah tersusun rapih di dalam kantong plastik, serta menyemprotkan minyak wangi pada sebagian badan. Aku tetap ingin tampil wangi dan penuh keceriaan di depan istriku, karena ia amat menyukainya. Hanya dengan cara itulah, aku bisa memberinya rasa bahagia. (bersambung)

LIPSUS