-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 459)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 04 April 2023


Oleh, Dalem Tehang   


SAAT kami masih berbincang ringan di teras pos penjagaan dalam, komandan memberi isyarat kepadaku untuk melihat gerbang pembatas area steril rutan dengan kawasan kantor. 


Tampak seorang pria berpostur tegap dengan pakaian dinas lengkap, melangkah menuju arah kami. Kepala rumah tahanan yang sedang berjalan tersebut.


Setelah pria itu semakin dekat, komandan berdiri dari duduknya. Aku mengikuti caranya. Dan memberi hormat. Kepala rutan berusia sekitar 50 tahun tersebut membalas hormat dan kemudian menyalami kami.


“Bagaimana, semua aman-aman aja, pak?” tanya kepala rutan dengan kalem.


“Alhamdulillah, dan. Semua aman terkendali,” jawab komandan pengamanan rutan yang berdiri berdampingan denganku.


“Pak Mario sehat-sehat juga kan?” tanya dia sambil melihat ke arahku.


“Alhamdulillah sehat, dan. Terimakasih sudah memberi kesempatan buat kami yang memasuki usia tua untuk olahraga rutin di pagi hari,” sahutku, sambil membungkukkan badan. Memberi penghormatan.


“Syukur kalau semua baik-baik saja. Olahraga untuk tetep jaga kebugaran badan memang penting, pak. Karena badan yang sehat, membawa jiwa yang sehat juga,” ujar kepala rutan, dan langsung duduk di teras pos penjagaan.


Kami pun terlibat perbincangan. Berbagai hal kami bicarakan. Layaknya dialog sesama kawan. Tidak ada jarak sama sekali. Walau aku tetap menempatkan diri sebagai warga binaan. Karena bagi penghuni rutan, bisa kongkow santai dengan sipir apalagi tingkat pejabatnya, merupakan sebuah penghargaan yang membesarkan jiwa.


Beberapa sipir yang berlalu-lalang, selalu memberi hormat saat berjalan di dekat kami yang tengah terlibat pembicaraan. Sampai kemudian, kepala rutan menanyakan kepadaku mengenai hal apa yang sangat aku butuhkan.


“Yang utama, pegang hp, pak. Biar bisa komunikasi dengan keluarga,” kataku, terusterang.


“Nah, ini yang sebenernya agak sulit, pak. Kita semua tahu, sesuai aturan memang tidak dibenarkan warga binaan memegang alat komunikasi. Apalagi, secara rutin tim deteksi sinyal dari kementerian melakukan pemeriksaan melalui satelit mengenai adanya sinyal telepon seluler di rutan maupun lapas se-Indonesia. Dan tempat kita ini, termasuk kawasan yang secara acak cukup rutin dipantau,” ucap kepala rutan, juga terusterang.


“O gitu. Tapi, maaf ini, dan. Kenyataannya kan banyak warga binaan disini yang diperbolehkan memegang hp,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


“Saya tidak menutup mata soal itu, pak. Memang ada, bahkan cukup banyak warga binaan yang memegang hp. Tapi, risikonya mereka tanggung sendiri kalau tertangkap saat dilakukan razia,” lanjut kepala rutan.


“Iya sih, dan. Minimal hp mereka yang tertangkap, disita. Tapi kalau komunikasi dengan keluarga lewat wartelsus, biayanya mahal bener juga. Harga pulsanya beberapa kali lipat dari yang sewajarnya, dan lebih cepet nguras pulsanya,” kataku lagi. Sambil tersenyum kecut.


“Namanya juga di rutan, pak. Sama juga dengan di lapas. Semua pasti lebih mahal dibandingkan di luar. Tapi, kalau pak Mario bener-bener butuhin pegang hp, nanti saya rekomendasiin. Saya sampein ke kepala pengamanan rutan kalau hp pak Mario itu pemberian saya. Inshaallah, aman-aman aja. Hanya saya minta, jangan ada orang lain yang pakainya. Khawatir disalahgunakan,” tutur kepala rutan. Kali ini nada suaranya serius dan matanya menatapku dengan tajam.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak bantuannya, dan,” ucapku dengan spontan dan menyalami kepala rutan memakai kedua tangan. Bahagia benar hatiku saat itu.


“Pak Mario sudah punya hp apa belum?” tanya dia lagi, tetap menatapku dengan serius.


“Nanti saya saja yang siapinnya, dan,” jawab komandan pengamanan dengan cepat.


“Bisa ya, pak. Syukur kalau gitu. Kalau belum ada, kan masih ada beberapa hp hasil sitaan yang disimpan. Bisa dipakai pak Mario kalau belum punya,” ujar kepala rutan.


“Siap, dan. Segera saya siapkan,” sambung komandan pengamanan dengan wajah serius.


Sekitar 15 menit kemudian, kepala rutan mengajak komandan berkeliling. Aku pun berpamitan. Dan langsung kembali ke kamar. Aku sampaikan kepada kap Yasin bila kepala rutan didampingi komandan dan beberapa sipir tengah berkeliling untuk mengecek setiap kamar.


Kap Yasin langsung bertindak. Semua penghuni kamar yang menggantung pakaiannya di tembok, segera diperintahkan untuk diambil dan disimpan di dalam rak masing-masing.


“Jangan ada pakaian yang ngegantung di tembok. Rapihin kamar. Cepetan,” kata kap Yasin dengan suara kencang.


Beberapa penghuni kamar 30 yang menaruhkan pakaian bukan pada tempatnya, segera bergerak. Juga bersama-sama merapihkan kondisi kamar. 


Seusai membersihkan badan, aku ke koperasi rutan. Membeli beberapa lembar kertas folio dan pulpen.


“Buat apa banyak bener beli kertas folio itu, bang?” tanya Oong yang sedang makan di kantin.


“Mau buat pledoi, Ong,” jawabku, singkat.


“Oh, sudah masuk pembelaan ya, bang. Dituntut berapa tahun emang abang,” lanjut Oong.


“Tiga tahun. Doain ya, bisa vonis di bawah dua tahun,” kataku lagi.


“Kalau mau vonis di bawah dua pertiga dari tuntutan mah harus main, bang. Nggak bisa cuma ngandelin pembelaan formal doang. Sebagus apapun pembelaan abang dan pengacara, nggak ada gunanya kalau nggak main,” ujar Oong dengan suara serius.


“Gitu ya, Ong. Jadi sebenernya, sia-sia aja ya kita nyampein pembelaan walau itu ungkapin yang sebenernya,” tanggapku.


“Abang ini emang nggak paham mainan, apa ngetes ya. Semua kita yang di dalem kan paham sih lika-liku di masa sidang, bang. Pembelaan itu cuma formalitas persidangan, karena emang aturannya terdakwa berhak nyampein pembelaan. Tapi, kalau kosong-kosong aja, mau profesor ahli pidana juga yang ngebuatnya, nggak bakal ngaruhlah,” urai Oong, panjang lebar.


Aku langsung terdiam. Begitu banyak warga binaan yang dengan terang-benderang menyingkapkan tabir permainan pada masa-masa persidangan. 


“Kok abang diem, lagi mikir ya. Bener tah yang aku omongin ini. Kalau abang ragu, ayo aku ajak nemuin beberapa orang yang baru jatuh vonisnya minggu lalu. Abang tanya sendirilah gimana mereka bisa dapet vonis ringan. Ujung-ujungnya, ya karena ikuti permainan. Di dunia mana ada keadilan, bang. Nanti kalau kita sudah di akherat, baru nemuin yang namanya keadilan,” kata Oong lagi, dengan bersemangat.


Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Oong. Sambil meninggalkan kantin untuk kembali ke kamar, aku teringat perkataan seorang ulama: tidak ada masalah dengan masalah, yang menjadi masalah adalah cara kita yang salah dalam menyikapi masalah. (bersambung)

LIPSUS