-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 277)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 04 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang 

      

SETELAH melipat kain sarung dan menaruh kupluk di rak panjang, aku mengajak Rudy makan malam. OD kamarku ini dengan cekatan menyiapkannya.


Tongseng kiriman istriku ia taruh di mangkok, sedang tempe dan tahu goreng di piring kecil. Disatukan dengan sambel. Empat bungkus nasi, ia taruh di meja. Aku buka satu bungkus nasi dan menaruhnya di piring. Kami memulai makan. Bismillah.


“Wah, babe lagi makan tongseng ya? Bagi dong,” kata pak Edy, yang tiba-tiba berdiri di balik jeruji.


“Masuk aja, pak. Masih ada kok tongsengnya. Kita makan bareng yok. Nasinya juga masih,” sambutku, dengan serius.


Tanpa merasa sungkan, pak Edy masuk ke kamarku. Dan, mantan kepala kamarku saat aku pertama kali masuk sel di polres ini pun, menikmati tongseng bawaan istriku dengan lahapnya. Hingga wajahnya berkeringat.


“Alhamdulillah. Sudah nggak inget lagi aku, kapan makan senikmat ini. Terimakasih ya, be,” kata pak Edy, seusai makan malam.


Ia mengajakku duduk di taman depan kamar. Untuk mendapatkan angin, agar keringatnya yang mengucur bisa tersapu angin dengan perlahan.


Rudy mengeluarkan minuman kaleng pemberian adikku Laksa. Menaruh di meja taman. Juga satu bungkus besar roti kasur, dan martabak Bangka.


“Darimana martabak ini, Rud?” tanyaku. 


“Tadi om Aris yang ngirim. Nyuruh tamping,” kata Rudy.


“Kok om nggak tahu kalau ada tamping dateng nganter martabak dari Aris?” tanyaku lagi.


“Dia nganternya pas om lagi mandi. Rudy langsung masukin ke lemari makan. Lupa juga tadi kasih tahu ke om,” jelasnya. 


“Serius amat tanyain soal martabak ini, be? Emang kenapa?” tanya pak Edy, sambil menatapku.


“Ya, kita kan perlu tahu asal-usulnya kalau tiba-tiba ada makanan, pak Edy. Lagian, ini kan penjara. Bisa aja ada yang nganeh-nganeh,” sahutku, dengan santai.


“Nggak nyangka, rupanya babe ini parno-an orangnya ya,” ucap pak Edy, menyela.


“Bukan soal parno atau cuek ini mah, pak. Tapi, waspada dan cermat kan tetep perlu. Apalagi urusan makanan, jangan sembarangan. Main hantam aja,” ujarku, menunjukkan sikap.


“Nah, gara-gara soal makanan ini, aku jadi inget pesen bapakku, waktu masih muda dulu, be. Dia bilang, kamu harus tahu, di dunia ini ada sebagian orang yang rela kelaparan karena takut makan harta haram, tapi ada juga sebagian orang yang rela makan harta haram, karena takut kelaparan,” kata pak Edy, beberapa saat kemudian.  


“Hebat bener bapak om Edy ya. Bisa kasih nasihat sebijak itu,” tanggap Rudy, yang ikut duduk di taman depan kamar.


“Bapakku itu guru, Rud. Ilmunya banyak. Aku sering inget pesen-pesennya. Yang dulu nggak aku peduliin, ternyata sekarang aku butuhin,” ucap pak Edy.


“Apa aja pesen bapak om Edy?” tanya Rudy. Ada rasa penasaran.


“Banyaklah, Rud. Cuma, ada beberapa yang masih ku inget. Misalnya dia bilang, terkadang ada kata-kata dalam diri kita, yang tidak butuh telinga untuk mendengarnya, melainkan membutuhkan hati untuk merasakannya. Pesen kayak gini kan nggak nyambung disampein ke aku yang waktu itu masih umur 20 tahunan. Sekarang, pas sudah di umur 50-an, baru agak nyambung. Dari situ aku mikir, kita nggak boleh nyepelein nasihat orang, siapapun itu. Karena ada saatnya kita merluinnya,” urai pak Edy.


“Pesen lain yang om Edy rasain pas dengan kondisi sekarang, apa?” tanya Rudy lagi. Masih dengan penasaran.


“Bapakku pernah bilang, kalau kamu nggak nemuin jalan keluar untuk masalahmu, mungkin memang bukan masalahnya yang harus dipecahin, tapi kenyataan yang mesti diterima. Omongan itu, pas sama apa yang ku alami saat ini,” lanjut pak Edy. Ada senyum kecut di sudut bibirnya.


Sambil mendengarkan obrolan pak Edy dan Rudy, aku asyik menikmati minuman kaleng kiriman adikku Laksa. Juga memakan roti kasur pemberian istriku. 


“Martabaknya enak lo, om. Cobain kalau nggak percaya,” kata Rudy, yang tengah mengunyah martabak Bangka.


“Makan aja sama kamu, Rud. Om milih roti aja. Jelas yang kasih istri om,” sahutku, sambil tersenyum.


“Wuih, sampe segitunya babe ngejaga diri ya. Makanan sudah di depan mata aja, masih ngeraguin asal-usulnya,” ujar pak Edy, dengan serius.


“Kalau gitu, Rudy ke kamar om Aris ya. Tanya dia, bener nggak martabak ini kirimannya,” kata Rudy, dan bergerak dengan cepat menuju kamar Aris. Kamar 12.


Sekitar 10 menit kemudian, Rudy kembali. Dan duduk di tempatnya semula. Wajahnya tampak tegang.


“Kenapa, Rud?” tanya pak Edy. Terheran.


“Emang bener, martabak itu dari om Aris. Cuma, bukan bawaan dia. Katanya, tadi ada tahanan yang nitip dan minta dikasihin ke om Mario,” jelas Rudy, seraya mengangkat bahunya.


Mendengar penjelasan Rudy, aku hanya tersenyum. Instingku sejak awal memang meragukan kiriman martabak tersebut benar-benar dari Aris. Bukan saja karena kami siang sampai petang tadi sama-sama mengikuti sidang dan tahu persis bawaan masing-masing, tetapi juga kebiasaan kami menyampaikan langsung bila ada yang ingin diberikan.     


“Kok om bisa ngeduga kalau martabak ini bukan dari om Aris, gimana caranya?” tanya Rudy, setelah menenangkan dirinya.


“Om sama Aris kan hari ini seharian bareng, Rud. Kami sama-sama sidang. Juga saling cerita waktu di mobil, apa aja bawaan masing-masing. Dia nggak ngomong kalau ada martabak, apalagi mau kasih ke om. Ditambah, feeling. Kok ada penolakan di hati buat makannya,” uraiku, sambil tersenyum.


Tiba-tiba datang dua orang sipir. Salah satunya Almika. Mereka langsung duduk bersama kami, setelah bersalaman.


“Lagi santai ya, om. Gimana tadi sidangnya,” ujar Almika.


“Iya, ngobrol-ngobrol kosong aja ini, Mika. Ngehibur pak Edy. Namanya juga jomblo, jadi butuh perhatian dan kasih sayang,” sahutku, sambil tertawa.


Spontan pak Edy pun tertawa. Juga Rudy dan sipir lainnya. 


“Sidangnya ditunda tadi, Mika. Ketua majelis hakimnya lagi berduka. Ada keluarganya yang wafat. Dilanjut Senin minggu depan,” sambungku.


“Makin lama waktu sidang, bisa makin stres kalau nggak pinter-pinter kiatinnya lo, om. Tetep semangat ya, om. Yang penting, jaga pikiran dan perasaan. Jangan sampai lepas kendali,” kata sipir Almika, memberi pesan.


“Inshaallah, om tetep bisa tenang kok, Mika. Dijalani aja dengan santai. Toh, pasti ada ujungnya juga nanti,” sahutku, dengan enteng.


Rudy bergerak dari tempat duduknya, untuk membuatkan kopi bagi sipir Almika dan seorang sipir lainnya. Namun, Almika menolak.


“Nggak usah dibuatin kopi, Rud. Aku sudah bawa kopi dari rumah. Ada di pos menara. Santai aja,” kata Almika.


Akhirnya Rudy mengeluarkan empat gelas air mineral. Dan menaruhnya berdampingan dengan panganan roti kasur dan martabak. 


“Kawan ini ada perlu sama om. Ngomong disini nggak apa-apa ya, om,” ucap Almika, kemudian.


“Iyalah, santai aja. Nggak apa-apa disampein disini juga, Mika,” jawabku, dengan nada santai.


Sipir teman Almika itu menyampaikan, ada saudaranya yang juga ditahan di rutan ini, merasa bermasalah denganku. Ia menginginkan permasalahannya diselesaikan dengan baik-baik. (bersambung)

LIPSUS