-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 454)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 30 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang     


MENDADAK istriku memegang bahuku dengan erat. Menaruhkan kepalanya di pundakku. Sesaat kemudian, ku rasakan ada air hangat menerobos pakaian dan mengenai kulitku. Iya, Laksmi menangis. 


Ku rengkuh kepalanya, mengelus-elusnya. Membesarkan jiwanya yang mendadak terpecah-belah. Hatiku pun larut dalam kepedihan. 


Beban batin yang begitu dalam dirasakan istriku, membuat amarahku sontak menggelegak. Terbayang bagaimana rekayasa Yudi dan kawan-kawannya menjebloskanku ke penjara. Gigiku bergemeretak. Menahan emosi nan membuncah. 


Tiba-tiba Laksa mendekat. Menepuk-nepuk bahuku dengan pelan dan penuh ketulusan. Ku tatap wajahnya. Tanpa ekspresi. Menampakkan keteduhan.


“Kakak tetep kendaliin diri ya. Jangan ada dendam sedikit pun di hati pada siapapun atau oleh apapun yang bikin kakak seperti sekarang. Yakin aja, semua akan nerima balasan sesuai perbuatannya. Biar semesta yang bekerja atas izin Yang Kuasa,” ucap Laksa, mendekat ke telingaku.


“Iya, dek. Inshaallah, kakak tetep bisa kendaliin diri. Jiwa ini sudah lebih tenang jalani semuanya,” jawabku, dengan suara tersendat.


Dua orang jaksa yang bertugas menjadi penuntutku, masuk ke ruangan. Setelah menyalami kami semua, salah satunya menanyakan kesiapanku mengikuti persidangan. Aku sampaikan jika siap menjalani proses hukum tersebut.


“Sebentar lagi kita sidang, ayo kawan-kawan pengacara, kita ke ruangan duluan,” ujar jaksa perempuan, mengajak Makmun dan timnya mengikuti langkah mereka. 


Sesaat kemudian, istriku menanyakan perasaanku menghadapi tuntutan hukuman yang akan disampaikan jaksa.


“Ayah nyaman-nyaman aja kok, bunda,” kataku dengan santai dan memberinya sebuah senyum yang menenangkan.


“Ayah tahu nggak berapa lama ancaman hukuman perkara ayah ini?” tanya istriku, penuh dengan kegalauan.


“Tahulah, bunda. Untuk kasus penipuan dan penggelapan yang didakwain ke ayah, ancaman hukuman maksimalnya empat tahun. Inshaallah, tuntutan ayah dibawah itu. Bunda tetep tenang ya,” jawabku, tetap dengan santai.


“Ayah bener tetep nyaman ngadepi ini?” tanya istriku lagi. Kegalauannya tampak kian bergelora pada jiwanya.


“Iya, ayah tetep tenang kok, bunda. Jiwa dan pikiran ayah tetep dalam kendali. Kan ada bunda dan Laksa yang selalu nenangin ayah, jadi buat apa ayah galau,” ujarku lagi. Tetap menyunggingkan seulas senyuman. 


“Syukur kalau ayah tetep tenang. Bunda khawatir ayah kehilangan kendali aja,” kata istriku, dan kembali memelukku dengan erat.


“Bunda nggak usaha galau ya. Tetep tenang. Berapapun tuntutan atau nanti vonisnya, ayah siap jalani dan terima semuanya dengan ikhlas kok. Mau diputus setahun, dua tahun atau bahkan tiga tahun, nggak ngaruh buat kesungguhan ayah perbaiki diri. Karena semua itu cuma deretan hari yang emang mesti dilakoni, baik di luar maupun di dalem penjara. Jadi, semua pasti ada akhirnya,” ucapku, panjang lebar. 


Seorang petugas Kejaksaan Negeri datang ke ruangan khusus tempatku berkumpul dengan keluarga. Rompi warna merah yang dibawanya langsung aku ambil dari tangannya. Memakainya dan keluar ruangan. Istriku Laksmi dan adikku Laksa berjalan terlebih dahulu. Menuju ruangan tempatku akan mengikuti persidangan.


Aku beserta lima tahanan lain berjalan beriringan dalam pengawalan petugas kejaksaan, menuju tempat sidang. Di antara mereka, terdapat Teguh. Yang berjalan sambil menunduk.


“Tegakin kepalamu, Guh. Tatap semua orang yang ada di sepanjang jalan nuju ruang sidang. Nggak ada alasan buatmu rendah diri,” bisikku kepada Teguh yang berjalan di depanku.


“Siap, ayah,” sahutnya, pendek. 


Dan beberapa saat kemudian, anak muda itu mengangkat wajahnya. Berjalan dengan tegap. Penuh percaya diri. Melihat perubahan gaya Teguh, aku tersenyum.


Sepanjang jalan menuju ruang persidangan, aku melihat ada banyak orang yang tampak memperhatikanku dengan seksama. Instingku memberi sinyal, bila di antara mereka terdapat beberapa orang yang memang ditugaskan untuk memantau perkembangan perkaraku. Entah oleh siapa. 


Setelah memasuki ruang persidangan dan duduk berdampingan dengan istriku, ku genggam erat telapak tangan wanita yang begitu tegar mendampingiku dalam gulatan keterpurukan ini. Ku tatap wajahnya. Laksmi memberiku seulas senyum. Damai hatiku.


“Ayah ngelihat nggak, di selasar nuju ruang sidang tadi banyak orang yang merhatiin?” tanya istriku dengan pelan.


“Iya, ayah tahu kok, bunda. Bersyukur aja ya, kita tetep dapet perhatian dari banyak orang. Soal niat atau motivasi mereka apa, nggak usah dipikirin. Santai aja,” jawabku, juga dengan pelan.


“Iya, ayah. Tadi Laksa juga ngingetin bunda buat tetep santai. Bunda bersyukur bener, Laksa selalu temani bunda. Nggak kebayang kalau nggak ada Laksa, bisa nggak nyaman bunda jalani semua ini,” kata istriku lagi.


“Alhamdulillah, Laksa selalu ada di samping kita dalam kondisi apapun ya, bunda. Ayah sangat bangga dan hormat dengan ketulusannya selama ini,” tanggapku, dengan wajah serius.


Majelis hakim yang akan menyidangkanku memasuki ruang persidangan. Kami semua berdiri, sampai ketiga Wakil Tuhan itu duduk di kursinya masing-masing. Aku diminta duduk di kursi pesakitan. Pengacaraku telah duduk terlebih dahulu di tempatnya, pun dua jaksa penuntut.


Setelah menanyakan kesehatan dan kesiapanku mengikuti persidangan, ketua majelis hakim mempersilakan jaksa menyampaikan tuntutannya. 


Dengan suara keras, kedua jaksa bergantian membacakan surat tuntutannya untukku. Dan klimaksnya, mereka menuntutku dengan tiga tahun penjara. Mendengar waktu hukuman yang dituntutkan kepadaku oleh jaksa, aku tersenyum. Ku tatap wajah Makmun, pengacaraku. Tampak sangat tegang.


Majelis hakim menyampaikan agar aku memberikan pembelaan pada sidang berikutnya, juga tim pengacaraku.


“Silahkan terdakwa membuat pembelaan pribadi. Tidak apa-apa ditulis tangan, yang penting rapih dan bisa dibaca,” kata ketua majelis hakim.


Setelah berdiskusi beberapa waktu, proses persidanganku pun selesai. Ketika keluar ruangan, beberapa wartawan meminta komentarku mengenai tuntutan jaksa. 


Namun, aku memilih tidak memberi komentar apapun dan terus berjalan berdampingan dengan istriku dan Laksa. Kembali ke ruangan khusus yang ada pada bagian belakang sel sementara bagi para tahanan yang mengikuti persidangan. (bersambung)

LIPSUS