Oleh, Dalem Tehang
“KASIHAN ngelihat ustadz lo, bang. Kelihatan bener kalau dia terpuruk. Gimana ya caranya bisa ngehibur dia,” tutur Danil, sambil menatapku.
“Iya sih, kita emang prihatin dengan apa yang dialami ustadz Umar itu, Danil. Kita doain aja beliau tetep kuat, tegar, dan ikhlas nerima tambahan ujian ini. Kalau kamu tanya, gimana cara ngehibur ustadz, aku juga nggak paham. Tapi, aku yakin kok, ustadz pasti punya cara sendiri buat tangani masalahnya,” jawabku, dengan hati-hati.
“Abang yakin, ustadz bisa segera keluar dari derita di jiwanya karena dipecat sebagai dosen itu ya?” tanya Danil, tetap dengan memandangku.
“Yakinlah, Danil. Beliau itu orang hebat. Istiqomahnya mantep. Pasti beliau punya kemampuan untuk segera ngatasi masalahnya,” kataku, meyakinkan Danil.
“Kalau nurut abang, makna apa yang bisa jadi pelajaran buat kita dari tambahan ujian yang dialami ustadz sekarang ini,” lanjut Danil.
“Makna apa ya? Yang aku pahami, ketika ujian datang bertubi-tubi, itu salah satu tanda kalau Allah mencintai kita, Danil. Sang Pemilik Kehidupan rindu dengan rengekan kita, tangis kepasrahan kita, dan berserah total dengan kehendak-Nya. Dan dulu, ada sahabat yang pernah nyampein begini; sekeras apapun kita menolak yang datang, akan tetap datang. Sekuat apapun menahan yang pergi, akan tetap pergi. Sederhanakan aja cara kita dalam menyikapi takdir,” tanggapku, tetap dengan hati-hati.
“Jadi pelajaran yang bisa kita dapet, tetep harus sabar dan ikhlas itulah ya, bang. Nggak jauh-jauh dari itu,” kata Danil lagi.
“Iya, dalam kondisi kita di dalem kayak gini, emang cuma sabar, tenang, dan ikhlas itulah yang harus kita lakuin dan wujudin, Danil. Emang sih, sabar itu nggak bakal ngerubah kenyataan dan kasih kita kemenangan, tapi bisa jadiin kita kuat dalam ngadepin ujian dan perjuangan,” ujarku, panjang lebar.
Seorang anggota majelis taklim memanggil Danil dari pintu pemisah ruang masuk Blok B dengan area sel. Buru-buru Danil bergerak, dan berpamitan dengan menyalamiku. Tampak keduanya berjalan cepat menuju masjid. Aku memahami, menjelang solat Dhuhur, mereka wajib mengaji “sorokan” dengan ustadz Umar.
Sepeninggal Danil, aku masuk ke kamar dan mandi. Bersamaan dengan suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Rudy mengajakku untuk segera ke masjid. Ustadz Umar tetap mengimami solat. Tampak wajahnya mulai kembali memancarkan keceriaan, meski belum seperti biasanya.
Selepas solat dan berdoa, aku mengajak Rudy kembali ke kamar. Saat kami akan meninggalkan masjid, Danil berlari dan memanggilku.
“Ada apa, Danil?” tanyaku, saat melihat dia mendekat.
“Ustadz pengen ngobrol sama abang. Kata beliau, abang diminta nunggu di ruang sebelah. Tempat koordinator majelis taklim istirahat,” ujar Danil.
“Mau ngobrol apa ya, Danil?” tanyaku lagi, sambil mengernyitkan dahi.
“Nggak tahu aku, bang. Tadi pas beliau ngelihat abang keluar masjid, nyuruh aku cepet kasih tahu abang kalau beliau mau ngobrol di ruang sebelah,” jelas Danil.
“Gimana, Rud?” tanyaku kepada Rudy yang hanya berdiri kaku di dekatku.
“Ya sudah, om ngobrol aja dulu sama ustadz, Rudy balik ke kamar,” jawab Rudy, dan segera melangkahkan kaki. Meninggalkan pelataran masjid.
Bersama Danil, aku menuju ke ruang khusus untuk koordinator majelis taklim beristirahat. Cukup nyaman, dengan AC yang lumayan dingin.
“Eksklusif bener ruangan ini ya, Danil. Pakai AC segala,” ucapku, seraya duduk di karpet warna biru yang tampak sangat bersih.
“Ruangan ini kan fasilitas rutan, bang. Makanya pakai AC. Yang nggak boleh itu di kamar sel tahanan,” sahut Danil.
Ustadz Umar masuk ke ruangan dan menyalamiku bersama Danil. Setelah menaruhkan air mineral gelas di hadapan kami, ia pun duduk sambil menyandarkan badannya yang subur ke tembok.
“Pak Mario sehat-sehat aja kan,” sapa pak ustadz Umar. Membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah sehat, pak ustadz. Sempet beberapa hari kurang sehat, tapi sekarang sudah fit kembali,” kataku.
“Alhamdulillah. Jaga kesehatan memang yang utama disini, pak. Kalau kita sakit, rasanya nggak karuan pedih perihnya hati kita,” lanjut ustadz Umar.
Setelah berdiam beberapa waktu, barulah ustadz Umar menyampaikan niatnya mengapa ingin mengobrol denganku.
“Saya ingin pak Mario bantu saya mengisi pengajian di majelis taklim. Majelis taklim ini kan punya kita semua sebagai penghuni rutan. Saya tahu, pak Mario rajin membaca Alqur’an, tentu ingin juga kan menyebarkan ilmu untuk sesama,” tutur ustadz Umar.
Aku terdiam. Tidak menyangka bila ustadz Umar akan mengajakku menangani kegiatan di majelis taklim.
“Bagaimana, setujukan pak Mario?” tanya ustadz Umar. Tatapannya tajam mengarah ke posisi dudukku.
“Saya merasa sangat tersanjung, terhormat, dan bangga dengan ajakan pak ustadz ini. Sungguh diluar yang saya perkirakan. Tapi jujur, pak ustadz. Saya belum siap untuk menjadi pengajar di majelis taklim. Saya ini selangkah saja belum dalam mempelajari agama,” ucapku dengan nada pelan dan hati-hati.
“Justru dengan kerendahan hati pak Mario itu, saya semakin semangat lo. Saya yakin, pak Mario bisa menambah semaraknya kegiatan keagamaan di rutan kalau bergabung mengurus majelis taklim,” ucap ustadz Umar.
“Mohon izin ini, pak ustadz. Ada kawan yang hafidz Qur’an, pembawaannya sangat tenang, ngayomi, dan adem. Ilmu keagamaannya juga mumpuni. Sepertinya, dia lebih pas untuk mendampingi pak ustadz. Tentu saya tetap akan membantu, namun tidak usah masuk ke dalam majelis taklim,” kataku lagi.
“O gitu, siapa orangnya, pak?” tanya ustadz Umar, dengan cepat.
“Pak Anas. Sekarang di kamar 19 Blok B. Saya belajar mengaji, sebagian besar karena arahannya, pak ustadz. Dan dia juga mengajar mengaji semua penghuni kamarnya. Setiap selepas maghrib sampai isya,” uraiku.
“Bisa nanti pak Mario ajak pak Anas ketemu saya? Setelah solat ashar,” tanya ustadz Umar.
“Inshaallah bisa, pak ustadz,” jawabku.
Perbincangan dilanjutkan dengan membahas hal-hal ringan. Selama kami berbicara, sama sekali tidak sedikit pun tampak jika ustadz Umar sedang diselimuti persoalan besar. Pemecatannya sebagai dosen. Ia benar-benar hanya mengupas mengenai langkah-langkah pengembangan majelis taklim yang dipimpinnya.
Setelah ku anggap pembicaraan yang penting telah selesai, aku dan Danil yang menemaniku, pun berpamitan. Meninggalkan ustadz Umar yang masih berada di ruangan khusus tersebut.
“Hebat bener ya bang, ustadz itu. Nggak ada sama sekali bekas-bekas gimana terpuruknya beliau sampai pingsan karena masalah pemecatannya,” kata Danil, ketika kami telah meninggalkan masjid.
“Iya, aku juga kagum sama kemampuannya nutup persoalan pribadi dan nggak mempengaruhi tugasnya. Kepiawaiannya ngelola gejolak jiwa itu, yang harus kita contoh, Danil,” sahutku.
“Aku jadi inget omongan Bruce Lee, bang. Dia bilang; mudah ngajari orang jadi terlatih, yang sulit itu ngajari orang ngerubah perilakunya. Kalau aku nilai, ustadz bener-bener sudah terlatih perilakunya ngadepi situasi dan kondisi apapun karena ketawadhuannya,” ujar Danil, dengan suara serius.
“Wah, hebat kamu, Danil. Sampai keinget omongan Bruce Lee segala,” kataku, menyela, seraya tertawa.
“Aku kan karateka, bang. Dan IV aku ini. Siap ngelawan kalau cuma lima sampai enam orang yang ngeroyok mah,” sahut Danil, dan juga ikut tertawa ngakak.
“Kalau nurut abang, pak ustadz itu termasuk kriteria orang kayak mana ya?” tanya Danil, beberapa saat kemudian.
“Yang pasti, dia berkarakter orang besar, Danil. Yang punya dua hati. Satu hati untuk bersabar, dan satu hati lagi buat bersyukur. Itu kalau nurut penilaianku,” jawabku, kemudian.
Kami berpisah jalan di depan pintu masuk Blok B. Aku ke arah dalam, sedang Danil melanjutkan langkahnya ke Blok A. Tempat ruangan khusus anggota majelis taklim berada. (bersambung)
