ENDRIYONO
Esais, Tinggal di Bandarlampung
DI KAMPUNG kita, apa masih melihat orang-orang tua menganyam tikar dari daun mandong, membuat aneka kerajinan dari bambu, menyulam kain, atau menjemur cengkih? Yang semua karya dan aktifitasnya punya nilai jual? Atawa, kita masih melihat adanya pelbagai kegiatan seperti pemberian bantuan pangan, BLT, pemeriksaan kesehatan, dan senam lansia di Balai Desa?
Kita bersyukur, jika kedua hal bernilai ekonomi dan menjaga kesehatan para lansia itu masih digerakkan aktifitasnya. Sebab, selain amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni di Pasal 183 Ayat 1 dan Ayat 2.
Kita temukan juga keseriusan pemerintah yang menggarap beragam kebijakan agar warga lansia tetap sehat dan produktif secara ekonomi sehingga menjadi penguat bonus demografi. Pada puncak peringatan Hari Lansia Internasional di Jakarta, 20 Oktober 2023 Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nunung Nuryanto mengemukakan hal itu.
Bonus demografi kedua atau silver economy telah menjadi bagian strategi pembangunan nasional.
Jika kita telusuri teori "Silver Economy" ini pertama kali dicetuskan karena asumsi bakal terjadinya pengaruh pasar yang didominasi oleh kelompok lansia. Dalam silver economy, sistem produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa akan digerakkan dengan memanfaatkan kemampuan atau potensi penduduk lansia.
Beberapa negara seperti Jepang, Korsel, Jerman, dan Singapura sudah menerapkan sistem silver economy ini. Gagasan penting dan mendesak digalakkan karena proporsi populasi warga lansia di Indonesia semakin besar.
Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa proporsi populasi lansia pada 2015 sebesar 8,1 persen dari total jumlah penduduk. Proporsi populasi lansia ini terus meningkat menjadi 9,03 persen (2017), 10,7 persen (2020), serta diperkirakan mencapai 12,5 persen pada 2025, dan 14,6 persen pada 2030. Meski demikian, warga lansia di Indonesia masih lebih sering dipandang sebagai beban ekonomi dibandingkan dengan sebagai sumber daya.
Laporan survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai rasio ketergantungan lansia (old dependency ratio/ODR) pada 2021 sebesar 16,76.
Hal ini mengindikasikan setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-59 tahun) harus menanggung setidaknya 17 penduduk lansia.
Angka ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena mencerminkan beban ekonomi yang harus ditanggung, dengan asumsi warga lansia secara ekonomi bukan sebagai individu yang produktif.
Kondisi kesehatan lansia di Indonesia juga belum menggembirakan. BPS (2021) mengemukakan, angka kesakitan warga lansia masih sekitar 20,71 persen. Hal ini berarti bahwa sekitar satu dari lima orang lansia pernah sakit dalam satu bulan terakhir. Kondisi ini akan sangat mengganggu warga lansia dalam menjalani kesehariannya.
Untuk mengantisipasi berbagai konsekuensi tersebut, penting sekali dilakukan upaya prediktif dan preventif. Upaya-upaya itu diharapkan akan membuat warga lansia di Indonesia dapat menjalani hidup lebih berbahagia, berkualitas, dan peran utama warga lansia sebagai agen transfer pengetahuan antargenerasi dapat berjalan lebih optimal.
Di Provinsi Lampung, menurut data BPS, jumlah penduduknya mencapai 9.176.546 juta jiwa pada 2022, naik 94.754 ribu jiwa dibandingkan 2021. Jumlah penduduk Lampung tersebut terdiri atas 4.697.217 jiwa penduduk laki-laki dan 4.479.329 jiwa penduduk perempuan. Lansia yang ada di Lampung, jika berbasis kategori Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang membagi usia populasi menjadi usia pertengahan (middle age; usia 45-59 tahun), lanjut usia (elderly; 60-74 tahun), lanjut usia tua (old; 75-90 tahun), dan usia sangat tua (very old; di atas 90 tahun).
Berbasis data BPS 2022, jumlah total ada penduduk lansia di Lampung ada 1.305.910 jiwa.
Artinya, ada 14,23 persen penduduk Lampung terkategori lansia. Ini di atas angka rerata nasional yang masih diprediksi pada 2030 baru 14 persen jumlah penduduk lansia di Indonesia.
Kita lihat, preventif dan perlakuan untuk serius memicu lapangan kerja bagi lansia masih sangat minim. Pada sudut pandang optimisme, apa yang bakal kita capai jika anak mudanya keranjingan judi, penduduk tuanya, selain sakit juga jadi tanggungan keluarga yang masih usia produktif?
Apa masih kita lihat di desa orang sepuh yang masih menganyam rotan untuk gebukan kasur, membuat tampah dan topi dari anyaman bambu, menggendong lingi dari rawa untuk dibuat tikar?
Atau terbaring sakit dan hanya bisa pasrah menunggu takdir, sembari sesekali berharap Ketua LKKS Provinsi Lampung kembali hadir membagikan paket sembako? (*)

