Oleh, Dalem Tehang
“TITIP si Teguh ya, pak. Dia baru mulai sidang hari ini. Pastinya nanti bakal sering keluar-masuk. Kalau ada apa-apa sama dia, tolong bantu atau kasih tahu aku,” kataku, sambil menatap petugas tersebut.
“Siap, pakde. Kamu harus baik-baik sama pakde ya, Teguh. Nggak sembarangan dia nitip kayak gini kalau kamu nggak dianggepnya orang baik,” kata petugas itu, dan memandang wajah Teguh.
“Siap, dan. Aku emang sudah anggep beliau ini ayah sendiri. Terimakasih ya, ayah,” sahut Teguh, dan memelukku.
Aku menepuk bahu Teguh sambil tersenyum. Pun petugas P-2-O itu juga tersenyum. Kami sama-sama memahami, psikologis orang yang baru pertama kali mengikuti persidangan, pasti akan merasa sangat tertekan. Dan ketika ada yang mengangkat semangatnya, akan menjadi demikian berarti.
Seusai barang bawaan diperiksa, aku meminta izin untuk menunaikan solat Maghrib. Komandan P-2-O yang baru keluar dari musholla, langsung memberi isyarat agar aku segera solat. Dan ketika kembali ke barisan selepas menjalankan kewajiban bersujud kepada Sing Gawe Urip, proses pemeriksaan terhadap 45 tahanan yang hari itu mengikuti persidangan, telah selesai.
Kembali kami menjalani pemeriksaan di depan pos penjagaan luar. Dua pegawai rutan dan seorang tamping regis menjalankan tugasnya. Ciri khas pemeriksaan di tempat ini adalah dengan kewajiban membuka alas kaki. Baik sepatu maupun kaos kaki. Tentunya dilengkapi dengan pemeriksaan badan dengan sangat cermat.
Seorang pegawai rutan yang memeriksaku tampak sangat memperhatikan kacamata baca lipat yang ada di dalam kotaknya. Beberapa kali ia sorot dengan lampu senternya. Melihat gayanya, aku hanya tersenyum. Aku tahu, ia berusaha keras menemukan sesuatu terlarang disana. Namun aku meyakini, tidak akan ada temuan apapun.
“Ini kacamata baca lipatnya sudah lama ya, om. Kotaknya aja sudah pada robek kain di dalemnya,” kata pegawai itu, dan menatapku.
“Iya emang, kacamata lama itu. Barangkali sudah belasan tahun umurnya,” sahutku, dengan santai.
“Pantes aja. Kain robeknya ini bikin orang curiga, om. Jangan-jangan ada selipan baran terlarang di dalemnya,” lanjut pegawai itu.
“Nggaklah. Nggak mungkin aku lakuin yang gituan,” jawabku dengan tegas.
Akhirnya, pegawai itu menyerahkan kacamata lipat beserta kotaknya ke tanganku. Sambil berpesan, agar lain kali tidak membawa kotak kacamata yang kain dalamnya telah robek disana-sini, untuk menghindari kecurigaan petugas dalam melakukan pemeriksaan.
Cukup lama kami menjalani pemeriksaan di depan pos penjagaan luar, hingga dazan Isya selesai berkumandang. Sampai akhirnya pintu gerbang tinggi yang berlapis kawat baja, dibuka. Kami pun memasuki area steril kawasan rutan. Untuk kembali melapor di pos penjagaan dalam.
Sipir yang bertugas di pos penjagaan dalam melakukan absensi. Sipir Mirwan yang bertugas. Ketika sampai ke namaku, ia menatapkan pandangannya.
“Bang Mario habis sidang ya?” tanya dia. Aku menganggukkan kepala.
Spontan ia memintaku memasuki ruang pos penjagaan dalam. Dan memerintahkan tamping membuka pintu samping, agar aku bisa kembali ke kamar terlebih dahulu.
“Itu ada yang sekamar, Mirwan. Si Teguh. Biar dia bareng sama aku. Barang kiriman orang rumah juga dia yang bawain,” kataku dengan pelan saat berdiri di samping sipir Mirwan.
“Teguh mana. Masuk duluan,” teriak sipir Mirwan, beberapa saat kemudian.
Teguh pun bergegas keluar barisan dan memasuki ruang pos penjagaan dalam. Tidak lama kemudian, kami meninggalkan pos dan berjalan di selasar untuk menuju kamar.
“Aku mau tanya, ayah. Kenapa pas di P-2-O tadi, ayah kasih sipirnya uang. Kan dia minta dari bawaan ayah ini,” kata Teguh, sambil kami berjalan santai menuju pintu utama Blok B.
“Buat aku, apa yang dikasih istri sama adekku lebih berharga dari apapun, Guh. Makanya, aku kasih sipir itu uang,” sahutku.
“Ayah nggak pernah ya kasih bawaan dari istri dan adek ke sipir di P-2-O?” tanya Teguh, penasaran.
“Pernah juga sih, Guh. Waktu itu sipir di P-2-O minta pempek bawaanku, katanya buat mereka buka puasa. Karena ada nilai ibadahnya buat mereka, aku kasih apa yang dimauin. Tapi cuma sekali itu aja, lebih sering aku kimel-in uang, kalau mereka minta. Itu juga nggak rutin setiap habis sidang kok,” tuturku.
Ketika kami memasuki pintu utama Blok B, tamping kunci yang tengah menonton acara televisi, langsung bergerak. Mendahului langkah kami untuk membuka gembok pintu kamar 30. Aku melihat Teguh mengeluarkan satu batang rokok dan memberikannya kepada tamping tersebut.
“Biasanya om Mario yang kasih rokok, ini kok kamu. Sudah nular ya watak saling pengertian yang diajari om Mario,” celetuk tamping kunci sambil tersenyum, mendapatkan upah satu batang rokok.
“Banyak omong kamu ini. Rokok ini juga dari ayah. Punya adeknya tadi di pengadilan, sengaja dikasih buatku biar nggak stres ngadepi sidang. Karena masih ada sisanya, aku bisa berbagi sama kamu,” kata Teguh, ada nada tinggi dalam bicaranya.
“Kenapa kamu ninggi gitu ngomongnya, Guh. Jangan karena ngerasa sudah kasih orang, terus kamu remehin dia,” ujarku, sambi memegang bahu Teguh.
“Maaf, ayah. Kesel aja ngelihat cara dia, jadi spontan aku ngomong gitu tadi,” sahut Teguh, dan menundukkan kepalanya. Meminta maaf.
“Inget ya, Guh. Kita semua sama. Sama-sama tahanan, sama-sama makhluk Tuhan. Hindari bener nganggep orang lain lebih rendah dari kita. Kita bersikap dan berkata baik aja belum tentu diterima dengan baik, apalagi kalau ngomong kasar dan ngeremehin orang,” tuturku dengan serius.
“Iya, ayah. Aku minta maaf. Aku terus belajar buat ngomong baik dan terkendali. Terimakasih, ayah selalu ingetin aku,” ucap Teguh dengan suara sungguh-sungguh.
Saat pintu kamar dibuka, aku langsung menyerahkan dua kantong plastik ke tangan pak Ramdan. Aku percaya, ia bisa memilah mana barang bawaan yang dimanfaatkan untuk seisi kamar dan mana yang untuk pribadiku. Dan aku meyakini, sebuah kebersamaan yang lahir dari situasi dan kondisi yang dimulai dari keterpaksaan, membawa makna lebih besar bagi ketenangan jiwa. (bersambung)

