Oleh, Dalem Tehang
“NGGAK apa-apalah om minum kopi banyak juga. Toh, kalau om kepengen tidur, ya tetep aja bisa nyenyak tidurnya,” ucap pak Ramdan.
“Nggak usah, pak. Kebanyakan ngopi bisa kembung perutku. Lagian, kulit badanku kan sudah jadi coklat gini karena kebanyakan ngopi. Agak ngurangi dululah, biar jadi hitem lagi kulitku,” sahutku, dan tertawa lepas.
Mendengar celetukan dan tertawaku, semua pun ikut tertawa. Suasana semakin ceria. Perbincangan ringan namun tetap berisi petuah-petuah kehidupan itu terus berlanjut.
Teguh yang sebelumnya merebahkan badan di bidang tempat tidurnya, bergabung dengan membawa sebuah buku dan pulpen. Ia mengaku akan mengikuti jejakku, membuat catatan harian.
“Nggak usah niru-niru kalau bukan bidangmu, Guh. Belum tentu bisa,” kata kap Yasin, melihat Teguh menunjukkan buku dan pulpennya kepadaku.
“Kan katanya disuruh terus belajar sih, kap. Ya berusahalah walau bukan bidang kita. Apalagi, kita kan sejak kecil biasa nulis dari SD sampai perguruan tinggi, tinggal masalahnya aja yang beda,” jawab Teguh, dengan percaya diri.
“Emang apa yang mau kamu tulis?” tanya pak Waras.
“Kayak ayah, pak. Nyatet peristiwa yang kita alami sehari-hari selama disini. Sekadar buat kenang-kenangan aja,” ucap Teguh, seraya melepas senyuman.
“Kenangan yang perlu diinget itu yang bagus-bagus, Guh. Masak ngenang masuk bui. Malahan buatmu nanti susah bangkit,” celetuk Anton.
“Kamu jangan salah, Anton. Tempat nulisnya boleh di bui atau dimana aja, tapi nilai positifnya yang kita ambil. Baru namanya musibah bawa berkah dan hikmah. Gitu kan, pak Waras,” tanggap Teguh dengan tertawa ngakak.
“Semua kembali gimana kita ambil hikmahnya aja. Sejelek apapun kejadian, kalau kita berpikir positif, tetap akan bawa kebaikan buat kita. Minimal kita nggak ulangi kesalahan yang sama,” kata pak Waras, dengan gaya kalemnya.
“Aku pernah baca, seorang penyair Jerman namanya Paul Celan bilang gini: Menulis itu ibaratnya ngirim sebuah pesen yang dimasukin ke dalam botol dan dilepasin di laut, tanpa ada alamat jelas dan pasti yang dituju. Ombak bisa ngebawanya ke sembarang pantai. Mungkin disana ada atau nggak ada orang yang nemuin dan bacanya. Ya biar aja, toh nulis bukan ngarepin sebuah penerimaan, tapi ekspresiin sebuah kenyataan,” kata Teguh, setelah berdiam beberapa saat.
“Hebat bener pengetahuanmu, Guh. Sampai penyair Jerman aja kamu kenal,” ujar Anton, menyela dengan cepat diiringi tawanya.
“Dari baca buku, Anton. Kalau kenal dan tahu orangnya, ya nggak jugalah. Cuma kalimatnya aja yang aku suka dan terus inget,” sahut Teguh.
“Bagus-bagus aja rencanamu nulis itu, Guh. Tapi, tetep sampein kebenaran walau pada hal-hal yang kecil sekalipun. Nggak mesti terang benderang, karena setitik cahaya terkadang sudah cukup bagi seseorang untuk nentuin jalan keluar,” pak Waras menyampaikan pendapatnya dengan merespon positif niat Teguh.
“Terimakasih motivasinya, pak. Yang kayak gini aku suka, nggak matahin rencana orang tapi justru kasih semangat,” sahut Teguh dan menundukkan kepalanya ke arah pak Waras, menghormat.
“Kita semua berhak lakuin apapun sesuai mau kita, tentu yang bener. Tapi inget, semuanya diniati semata-mata nyari ridho Allah. Jangan ada niat selain itu,” ujar pak Waras lagi.
Kami semua serentak mengernyitkan dahi mendengar perkataan pak Waras yang sekali ini memasukkan unsur ketegasan dalam melakoni kehidupan dengan semata-mata mengharap ridho Yang Maha Kuasa.
Saat itulah, aku memahami, pria yang berilmu cukup mumpuni ini secara terus-menerus meningkatkan pengetahuan kami soal agama. Perlahan tapi pasti, ia membawa kami menapaki tangga demi tangga untuk menggapai kemurnian beragama.
“Kenapa begitu, pak. Kan kita solat aja selain jalani kewajiban, juga berharap masuk surga,” kata Anton, menyela.
“Perbaiki niat kita semua mulai sekarang. Apapun kebaikan yang dilakuin semata-mata cuma nyari ridho Allah. Seorang ulama bernama Syekh Mutawali As Syarawi pernah bilang: Jangan beribadah kepada Allah agar Dia memberi, tetapi beribadahlah agar Allah ridho, karena ketika Dia sudah ridho, kamu akan terkejut dengan pemberian-Nya,” urai pak Waras.
“Ini jujur ya, pak. Sampai sekarang , masih sering waktu lagi solat, pikiranku malah kemana-mana. Gimana bisa konsentrasi semuanya semata-mata nyari ridho Allah, wong lagi ngadep Dia aja pikiran kemana-mana,” kata Anton lagi. Membuka diri.
“Nggak apa-apa, terus lakuin solatnya, Anton. Soal orang lagi solat tapi pikiran kemana-mana itu, sudah sejak jaman Khulafaur Rasyidin adanya, jadi bukan di jaman akhir sekarang ini aja. Sayyidina Ali bin Abi Thalib sudah nyampein sejak jaman itu, solat tapi pikiran kemana-mana lebih baik daripada kemana-mana tapi nggak solat. Begitu kata menantu Kanjeng Nabi. Jadi nggak usah kecil hati, justru sering-sering solat, nanti lama-lama juga bisa konsentrasi kok,” jawab pak Waras, tetap dengan gaya kalemnya.
“Sepakat aku sama pak Waras, Anton. Agama kita kan nggak kaku. Selama kita berniat untuk ibadah, pasti Tuhan akan kasih bimbingan. Yang penting, kita sebagai makhluk terus perbaiki diri nuju pada sikap yang bijaksana, sederhana, adil, dan berani,” pak Ramdan menyampaikan pendapat.
“Kenapa mesti nuju bijaksana, sederhana, adil, dan berani itu pula, pak. Kita kan lagi ngomongin soal agama,” ujar Anton, menyela.
“Kamu jangan salah, Anton. Keempat sikap itu bagian penting dari sisi keagamaan. Aku urai ya, biar kamu paham. Sikap bijaksana atau kebijaksanaan itu akan nuntun kita pada kebahagiaan dan bimbing kita ke jalan yang bener. Sedang kesederhanaan adalah kemampuan buat berpikir jangka panjang dengan cara menahan godaan yang jerumusin kita ke tindakan kurang baik. Terus keadilan, perannya sebagai kompas yang mandu kita agar lebih bermoral dan fokus dalam berbuat pada sesama, bukan cuma untuk diri sendiri. Nah, keberanian adalah kemampuan yang sangat efektif buat ngontrol dan kendaliin perasaan terancam yang ningkatin rasa takut. Semuanya dibutuhin untuk kita wujudin secara total keberadaan sebagai makhluk Tuhan,” kata pak Ramdan, panjang lebar.
“Pak Ramdan ini ternyata cerdas ya. Yang disampein tadi beberan dari ilmu stoikisme, yang memilah mana yang bisa kita kendaliin dan mana yang di luar kendali kita,” ucap Teguh, sambil mengacungkan jempol ke arah pak Ramdan. (bersambung)

