Oleh, Dalem Tehang
“KENAPA gitu, kap?” tanyaku, dengan cepat.
“Karena nanti ada aja yang cari-cari masalah sama om. Selama ini kan jarang orang nulis cerita warga binaan. Apalagi saat orangnya masih di dalem. Ada fatsun perjuangan bunyinya begini: Kalau kamu membangun sesuatu secara diam-diam, orang lain nggak akan tahu harus nyerang apa. Om pasti pahamlah pesen yang tersimpan di balik kalimat itu,” lanjut kap Yasin.
“Iya, aku paham, kap. Terimakasih masukan dan dukungannya,” sahutku, dengan senyum ceria.
“Bahagia bener kayaknya ayah pagi ini ya, kap,” Teguh menyeletuk.
“Kita emang semestinya selalu bahagia, Guh. Bahagia itu kan bukan saat segala doa kita terkabul, tapi saat kita ngerti kalau semua kehendak Tuhan adalah baik. Nah, om Mario langsung mahami itu, begitu kawannya kasih motivasi buatnya nulis cerpen. Jadi ya happy itulah bawaannya,” jelas kap Yasin.
“Alhamdulillah, kap. Ada aja cara Tuhan kasih aku jalan buat cairin keresahan dan ngegantinya dengan kebahagiaan,” balasku, dengan tersenyum.
“Tetep disyukuri apapun yang ada, om. Yang pasti, terus aja berjuang buat raih kebaikan. Karena kebaikan itulah yang bawa ketenangan hati,” kata kap Yasin lagi.
“Nurut kap, kebaikan itu apa sih?” tanya Teguh, menyela.
“Nggak usah nurut aku, Guh. Tapi nurut sabda Nabi Muhammad yang mau aku sampein. Dalam sebuah hadits yang diriwayatin Ahmad, Nabi bilang yang kira-kira begini artinya: Kebaikan adalah apa aja yang nyenengin hati dan jiwamu, sedangkan dosa adalah apa aja yang nyebabin hatimu bimbang dan cemas, meski banyak orang bilang kalau hal itu merupakan kebaikan. Pahami aja apa yang disabdain Nabi ini,” tutur kap Yasin, kali ini wajahnya dihiasi senyuman.
“Dari tadi aku dengerin ngomongnya soal agama terus sih, kap. Apa karena ini hari Jum’at ya, jadi banyak yang bertausiyah,” kata Anton yang baru bangun dari tidurnya.
“Nggak gitu juga kali, Anton. Tadi awalnya ngomong soal rencana ayah mau buat cerpen. Terus sama kap obrolannya diisi dengan nyeimbangin pengetahuan umum kita sama agama. Kan bener itu. Kok kesannya kamu nggak seneng gitu sih dengerin orang ngomong soal agama,” Teguh yang menjawab perkataan Anton.
“O gitu. Ya maaf, namanya juga aku lagi tidur tadi itu, jadi dengernya juga cuma sriwing-sriwing. Pastinya, aku senenglah dapet pengetahuan terus, apalagi penjelasan yang bisa ngimbangi pikiran dan hati kita dengan ajaran agama, Guh,” jawab Anton.
Terdengar suara tamping kunci tengah melakukan tugasnya. Membuka semua gembok yang menempel di pintu setiap kamar. Aku bergerak cepat. Mengambil baju koko dan memakai kain sarung serta kupluk.
“Sudah mau ke mesjid ya, be?” tanya pak Waras, melihatku berganti pakaian.
“Iya, pak. Manfaatin waktu buat solat dhuha dan baca wirid sambil nunggu waktu solat jum’at. Kalau obrolan kita kan bisa dilanjut nanti,” jawabku.
Mendengar jawabanku, pak Waras pun bergegas mengambil kemeja batik lengan panjang yang disampirkan pada tiang gantungan pakaian di dekat plafon. Juga memakai kain sarung dan kopiah. Pak Ramdan, Teguh, dan kap Yasin segera berwudhu dengan bergantian ke kamar mandi.
Tidak beberapa lama kemudian, kami sudah berada di masjid. Seperti biasa, aku mengambil posisi di teras sebelah kiri, dekat dengan jendela. Baru saja aku menyelesaikan solat dhuha diikuti dengan bacaan pengagungan terhadap Tuhan, suara salam menyapaku.
Sambil menjawab ucapan salam tersebut, aku menengokkan wajah. Ternyata sipir Fani yang datang dan langsung duduk di sebelahku. Setelah bertanya kabar masing-masing, aku memanfaatkan waktu untuk meminta masukan kepada sipir yang pernah kuliah bersamaku itu mengenai rencana komandan memberiku peluang menjadi tamping pada bagian umum seusai vonisku inkrach.
“Abang ini emang dipayungi sama kebaikan. Salut aku. Entah apa doa abang, ada aja kemudahan yang terbuka lebar di dalem sini,” ucap Fani, seraya tersenyum.
“Maksudmu itu apa, Fani. Aku minta pendapatmu soal tawaran jadi tamping, kok kamu malah muji-muji nggak jelas juntrungannya gitu,” tanggapku dengan cepat.
“Masak abang nggak paham sih maksud komandan. Saranku, ambil peluang itu. Jangan sia-siain,” jawab sipir Fani.
“Emang maksud komandan apa, nurut kamu?” tanyaku dengan wajah serius.
“Komandan pengen abang bisa nikmati kebebasan di dalem sini. Tamping di bagian umum itu cuma istilah penempatan aja. Tugasnya bisa dibilang nggak ada. Tapi sejak pagi sampai sore, abang bisa keluar kamar, bebas mau kemana aja muter-muter di dalem sini. Dan yang nggak dipunyai tamping lain, dengan tugas di bagian umum, kapan pun ayuk atau kawan abang, bisa kunjungan. Kan cukup masuk gerbang utama, langsung naik ke lantai atas. Nggak lewati kantor rutan dan sebagainya. Jadi bener-bener privacy,” jelas Fani dengan panjang lebar.
“O gitu ya, Fani. Jadi maksud komandan biar aku ada alasan keluar kamar dan bisa main-main gitulah dari pagi sampai sore,” kataku, dengan menatap wajah Fani.
“Ya, gampangnya kayak gitulah, bang. Maka ku bilang tadi, aku salut sama abang. Ada aja kemudahan yang didapet. Apalagi jadi tamping di bagian umum sangat prestise buat warga binaan. Karena pasti rutin ketemu kepala rutan dan bos-bos disini. Dengan begitu, kalau sudah sampai waktunya abang ajuin remisi misalnya, ya pasti di-acc, karena sudah kenal baik,” lanjut Fani.
“Terimakasih masukannya ya, Fani. Aku dapet banyak kemudahan ini juga kan nggak lepas dari arahanmu sih. Aku bersyukur bener kita ditemuin lagi. Walau aku jadi orang yang harus kamu awasi,” kataku lagi, seraya tersenyum.
“Nggak gitu juga kali, bang. Emang tugasku jadi sipir, tapi ya nggak mesti ngawasi abang-lah. Kami semua tahu kok, abang nggak bakalan nganeh-nganeh. Dan ada sebenernya yang buatku penasaran sama abang ini,” ucap Fani, beberapa saat kemudian.
“Apa emang yang buatmu penasaran?” tanyaku, dengan serius.
“Abang kan sudah tiga kali pindah kamar ya. Tapi ketemunya selalu sama orang-orang yang sudah sadar bahkan banyak belajar agama. Entah ini kebetulan atau apa, itulah yang aku perhatiin dan buatku penasaran. Ada doa khusus apa sih, kok abang masuk sel mana aja ketemu sama orang-orang yang rajin ibadah,” urai Fani lagi.
Aku terdiam. Dan mengingat kembali perjalananku sejak awal masuk rutan. Memang benar yang dikatakan Fani, aku telah tiga kali pindah kamar sel. Dan benar, selalu dipertemukan dengan orang-orang yang membuatku semakin bergairah mempelajari agama dan mulai beristiqomah. (bersambung)

