-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 287)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 14 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang 


IYA, juga ya, om. Kebebasan yang terbatas inilah harga yang harus kita bayar untuk dapet hidayah. Memang kita nggak bisa beli hidayah, seperti kata Imam Syafi’i, tapi tetep ada yang harus dibayar. Bukan pakai uang atau lainnya, tapi kebebasan kita. Cocok aku sama pendapat om,” ujar Rudy, seraya tersenyum.


“Mungkin, kalau kita nggak dikasih hidup dalam kondisi kebebasan terbatas gini, hidayah itu nggak kita dapetin, Rud. Jadi bener kata kamu, ya kita syukuri, nikmati, dan jalani aja yang ada,” kataku, menimpali.


“Kalau kata orang Inggris, freedom is the most precious thing in every human’s life,” kata Rudy.


“Wah, pinter kamu ngomong Inggris, Rud? Apa itu artinya,” ucapku, menyela.


“Maksudnya, kebebasan itu hal paling berharga dalam hidup setiap manusia, om. Masak om nggak mudeng sama Bahasa Inggris sih. Rudy yang cuma tamatan SMA aja bisa kok,” tanggap Rudy, tetap dengan tersenyum.   


“Bukan nggak mudeng, Rud. Cuma nerjemahinnya itu agak lambat. Maklum, otak kan mulai lemot,” sahutku, dan tertawa.


“Alhamdulillah, kalau sudah bisa ketawa gini, inshaallah om cepet pulih lagi,” kata Rudy dengan semangat.


Dan tidak lama kemudian, ia telah menyiapkan bubur ayam di mangkok serta air putih hangat. Ditaruh di dekat kasurku.


“Om sarapan sekarang. Rudy nyusul, mau masak mie dulu,” ujarnya.


Selepas sarapan dan meminum obat, aku paksakan berjalan keluar kamar. Duduk di taman depan. Untuk mendapatkan sinar matahari pagi. Namun karena bangunan kamar sel di depanku dua lantai, maka sorot sang mentari tertutupi. 


“Rudy anter om ke depan aja. Duduk di depan pintu masuk blok. Disana jam segini sudah dapet sinar matahari,” kata Rudy, yang paham akan maksudku duduk di taman pagi itu.


Benar saja. Sinar matahari pagi telah menyorot dengan terangnya di taman depan pintu masuk blok. Aku memilih kursi yang membelakangi matahari. Selain agar tidak silau, juga kehangatan sinar mentari bisa lebih dulu mengenai punggungku.


Saat sinar matahari kian panas, ku buka kaosku. Perlahan, keringat pun mengucur. Keringat basi. Beberapa tamping kebersihan yang lalulalang, sempat menyapaku. Bahkan ada yang menawariku kopi hangat. 


Aris dan Iyos keluar dari pintu blok. Akan jogging mengelilingi lapangan sepakbola. Melihat aku yang tengah duduk di taman samping pintu masuk, keduanya mendekat. 


“Kok nggak jogging, be?” tanya Iyos.


“Lagi kurang fit badanku, Yos. Istirahat dulu joggingnya. Kalian aja lanjut,” kataku.


“Emang babe sakit apa? Pantes nggak kelihatan di masjid?” Aris juga bertanya.


“Typusku kambuh, Ris. Alhamdulillah sudah dikirim obat sama ayuknya. Ini lagi pemulihan aja. Makanya nongkrong disini, panasin badan,” ujarku, panjang lebar.


“Subhanallah, babe ini punya penyakit typus ya. Hati-hati lo, be. Kapan aja kalau kambuh, bisa bikin badan drop berat itu. Yang jelas, nggak bisa capek dan makan sembarangan,” tanggap Iyos. Ada nada khawatir dalam bicaranya.


“Bener itu, Yos. Maka begitu kambuh gini, aku protek bener. Jangan keterusan penyakitnya ngendon di badan,” kataku, mencoba tetap santai.


Rudy muncul ke tempat kami berbincang. Mengajakku kembali ke kamar. Dia sudah menyiapkan air panas untuk aku membersihkan badan.


“Nantilah, Rud. Biar babe nyantai sambil kena panas pagi disini dulu,” kata Aris.


“Sudah lebih dari 30 menit om Mario disini dan kena sinar matahari pagi. Cukuplah itu. Kalau kelamaan, malah gosong kulit badannya yang emang sudah coklat gini. Sekarang waktunya bersihin badan. Kan dua hari nggak mandi,” kata Rudy, yang keukeuh mengajakku segera kembali ke kamar.


“Ya sudah, kalian lanjut jogging sana. Kalau perawat sudah bilang kayak gitu, pasien ya harus manut,” kataku, sambil tersenyum.


Rudy telah menyiapkan air hangat di dalam ember yang ada di kamar mandi. Aku pun langsung membersihkan badan. Dan setelahnya, mengolesi seluruh badan dengan minyak kayu putih. Hawa hangatnya merayap. Masuk ke badan melalui pori-pori. 


“Om nggak usah banyak gerak dulu. Tetep aja di kasur. Sudah Rudy bersihin dan rapihin kasurnya,” kata Rudy, setelah melihatku berganti pakaian.


Merebahkan diri dengan kondisi badan segar dan bersih, ternyata membuatku langsung mengantuk. Tidak lama kemudian, aku pun tidur. Aku baru terbangun saat Rudy menepuk telapak kakiku dengan pelan. Beberapa kali.


“Ada tante dan anak-anak om di ruang besukan. Rudy temeni om kesana,” kata Rudy sambil menatapku.


“O gitu. Oke, Rud,” sahutku, dan perlahan bangun dari kasur.


Setelah memakai minyak wangi dan bertopi, aku keluar kamar. Dikawal Rudy. Proses pelaporan di pos penjagaan dalam dan luar, berlangsung cepat. Pun sesampai di ruang besukan umum, tamping yang bertugas dengan cepat mengarahkanku ke posisi istri dan anak-anakku berada. Di tengah-tengah ruangan. Di antara puluhan pembesuk dan tahanan yang dibesuk.


Rudy mengantarku sampai aku duduk bersama keluarga. Aku perkenalkan ia kepada istriku Laksmi dan anakku Bulan.


“Rudy nunggu di pintu ya, om. Sambil ngobrol sama kawan-kawan. Om nyaman aja disini. Kapan selesai, kasih tahu. Nanti Rudy kawal balik ke kamar,” kata Rudy, dan berpamitan.


Barulah aku peluk istri dan anak gadisku. Kami menangis bersama. Tanpa suara. Hanya getaran jiwa dan tetesan air dari mata yang menandai adanya tangisan itu.


“Ayah sudah baikan?” tanya istriku Laksmi sambil mengelus-elus wajahku.


“Alhamdulillah, berkat doa bunda dan anak-anak, juga obat kirimannya. Ayah sudah enakan dan tadi juga sudah mandi pakai air hangat,” kataku, sambil terus memeluk Bulan yang menempelkan kepalanya di dadaku.


“Alhamdulillah. Kuwi lo nduk, ayah sudah sehat kan? Ojo sedih terus yo,” kata istriku, dan mengelus kepala Bulan yang menyatu di dadaku.


“Ayah sudah sehat kok, nduk. Ayah janji nggak makan sembarangan lagi, juga nggak mau capek-capek lagi,” kataku, seraya mengelus rambut Bulan.


“Mbak sedih ayah sakit di penjara gini. Mbak nggak bisa ngurusi, nggak bisa temeni ayah tidur. Ayah yang sabar ya. Mbak sama bunda sayang sama ayah,” kata Bulan, dan menengadahkan wajahnya. Menatapku dengan pandangan penuh kesedihan.


“Iyo, ayah juga sedih, nduk. Ayah tahu bener apa yang nduk dan bunda rasain. Dan nduk juga tahu gimana perasaan ayah. Nelongso hati ayah,” ucapku, dan mencium kepala Bulan. Ada setetes air dari mataku yang jatuh ke rambutnya. 


“Yo wes, sing penting nduk sudah lihat ayah kan. Nggak sakit ngeringkuk lagi kan. Alhamdulillah ayah disiplin jaga makan dan minum obatnya, makanya cepet pulih lagi. Nduk nggak boleh sedih terus yo,” kata istriku dan mengelus-elus punggung Bulan.


“Mbak sama bunda buatin ayah juice jambu, semalem. Ayah minum ya. Nanti sisanya dibawa ke kamar. Juga buat air telangnya, mbak sama adek sudah ambilin bunga telangnya,” kata Bulan, beberapa saat kemudian.


Sebuah botol kecil berisi juice jambu diberikan Bulan. Botol lain yang lebih besar, untuk dibawa ke kamar. Juga satu bungkus bunga telang. Aku langsung meminum juice jambu dari botol kecil. Begitu nikmat dan segar. Minuman sehat yang dibuat langsung oleh istriku Laksmi dan anak gadisku, Bulan.   


“Bunda juga buatin ayah bubur. Ada empat bungkus. Nanti suruh Rudy masukin magiccom. Biar tetep hangat. Ada bebek goreng kecap. Sudah disuwirin, buat lauk makan buburnya,” urai istriku, Laksmi. 


“Terimakasih bunda dan nduk. Inshaallah ayah cepet fit kayak biasa lagi. Nggak usah dikhawatirin yo, nduk,” ujarku, dengan memeluk istriku Laksmi dan anak gadisku, Bulan.


Cukup lama kami bertiga pelukan, sehingga tidak memperhatikan ada seorang pria berdiri di dekat kami duduk. (bersambung)

LIPSUS