Oleh, Dalem Tehang
“EMANG kena kasus apa, pak? Kalau boleh tahu?” tanyaku, penasaran.
“Pembangunan rumah sakit, bang. Aku kan PPK-nya. Jadi, secara teknis administrasi pekerjaan, emang aku yang bertanggungjawab. Makanya, kami satu paket masuk sini. Ada pemborongnya, konsultannya, dan aku PPK-nya,” urai pak Raden, tetap dengan nada santai.
“Emang kalau kasus korupsi itu, pasti berjamaah, pak. Ini aja sebenernya masih banyak yang harusnya ikut masuk. Tapi karena mereka bermain, akhirnya ya hanya bertiga itulah yang jadi korban,” kata pak Hadi, menimpali.
“O gitu. Jadi harusnya ada yang lain-lain juga yang selayaknya masuk sini ya, pak Raden?” tanyaku kepada pak Raden.
“Kalau ngikuti alur penyelidikan, penyidikan, juga persidangan, dan perintah hakim, setidaknya ada satu lagi yang mestinya bisa jadi terdakwa, bang. Cuma, karena jaksanya nggak nindaklanjuti, ya berhentilah kasus ini ke kami bertiga aja,” tutur pak Raden. Tampak ada senyum kecut di sudut bibirnya.
“Kok bisa gitu ya?” ucapku, menyela.
“Ya, apa sih yang nggak bisa diatur sama fulus di urusan kayak gini, bang. Kalau fulusnya ngalir kenceng, ya ketutup itulah keran kasusnya. Dan jujur, setelah ngalami sendiri, aku baru percaya, kalau urusan hukum di negeri ini, ternyata diatur sama fulus itulah. Nggak penting-penting amat barang bukti, pembelaan, atau keterangan saksi-saksi itu,” sambung pak Raden, yang mengaku mendapat hukuman dua setengah tahun penjara karena kasus pembangunan rumah sakit tersebut.
Aku terdiam. Sejak berada di dalam kehidupan rutan, begitu derasnya informasi mengenai permainan dunia peradilan. Pun istri dan adikku Laksa juga mendapati kenyataan bagaimana jaksa melakukan berbagai upaya pendekatan. Yang intinya untuk mengatur peradilan kasus yang melilitku.
Dan aku teringat perkataan seorang guru, ketika aku berada di titik akhir menuju sel. Ia mengajariku untuk melakukan berbagai daya upaya, bahkan mengemas kedustaan secara apik, demi untuk mendapatkan keringanan hukuman.
“Kok jadi ngelamun, bang?” tanya pak Raden, beberapa saat kemudian.
“Aku lagi kebawa alur pikiran aja, pak. Ternyata begitu kentalnya permainan fulus di dalam persidangan itu ya,” ucapku.
“Kenyataannya emang gitu, bang. Kami semua yang sudah vonis ini paham dan tahu persis permainan itu. Memang, nggak semua penegak hukum bermain curang, tapi mayoritas ya kayak gitulah. Bahkan ada kawan yang sampai tujuh kali sidangnya ditunda-tunda karena belum ada deal yang jelas,” urai pak Raden.
“Makanya sampai ada istilah, kalau sidang ditunda-tunda itu berarti tunggu dana,” tiba-tiba Oong nyeletuk, dan tertawa ngakak.
“Aku kan sekarang baru masuk masa persidangan, apa saran kawan-kawan,” kataku.
“Kalau ada peluang, mainkan aja, bang. Nggak besar-besar amat kok fulusnya, yang penting tepat sasaran. Lewat jaksa yang nuntut abang aja, jadi jelas alurnya kemana,” ucap Oong, memberi saran.
“Bagusnya emang main, bang. Apalagi kalau jaksa sudah kasih sinyal,” pak Raden menyambung.
“Jaksanya sudah pernah ngajak istri dan adekku ketemuan. Bahkan adekku punya rekaman pembicaraannya. Tapi sampai saat ini, aku nggak kepikir buat main di persidangan. Selain nggak ada fulusnya, juga hatiku nggak sreg. Aku pengen jalani apa adanya aja, sesuai alur yang sebenernya. Terserah nanti mau kayak mana,” kataku, mengurai.
“Bagus juga kalau pak Mario punya sikap begitu. Cuma resikonya, bakal divonis berat. Bisa-bisa sama dengan ancaman hukumannya. Tapi memang, berat nggak kasusnya juga tetep jadi pertimbangan majelis hakim,” pak Hadi, menyela.
“Emang kalau main dengan maksimal, kira-kira berapa vonisnya?” tanyaku, bertukar informasi.
“Kalau mainnya kenceng, ya bisa sepertiga dari ancaman hukuman. Bahkan bisa dibawahnya lagi. Tapi, kalau main biasa-biasa aja, rata-rata kawan disini dapetnya setengah dari ancaman hukuman,” jelas pak Hadi.
Suara mengaji dari masjid tiba-tiba terdengar dengan kencangnya. Pertanda sebentar lagi saatnya solat Maghrib tiba. Aku pun berpamitan. Kembali ke kamarku.
“Besok pagi kami main ke tempat abang ya,” kata Oong, saat kami bersalaman.
“Oke, silahkan. Kita lanjutin obrolan kita,” tanggapku. Dan kemudian bergerak untuk kembali ke kamarku. Di Blok B.
Begitu melihatku masuk kamar, Rudy langsung mengajak ke masjid. Karena belum sempat mandi sore, aku pun buru-buru membersihkan badan. Dan setelahnya berjalan bersama Rudy menuju tempat ibadah.
Tepat selesai solat, ustadz Umar mengajak semua jamaah membaca surah yasin dan tahlil untuk ibu dari salah satu napi anggota majelis taklim yang siang tadi wafat.
Dipimpin langsung oleh koordinator majelis taklim di rutan itu, prosesi pengiriman doa pun berlangsung dengan khidmat. Seusai memimpin pengajian takziyah, ustadz Umar menyampaikan tausiyahnya.
“Alhamdulillah, kita diberi kesempatan oleh Allah untuk mendoakan ibu sahabat kita yang siang tadi kembali ke pangkuan-Nya. Dari musibah ini, hendaknya kita semua semakin menyadari, jika kematian adalah kepastian yang akan kita alami. Dan bersama kematian itu, terkubur semua pahala serta dosa-dosa kita. Mumpung kita masih diberi napas, mari terus tingkatkan ibadah serta berdoa untuk husnul khotimah di akhir kehidupan ini nantinya,” tutur ustadz Umar, panjang lebar.
Menurut dia, merupakan kesempatan terbaik bagi kami yang tengah menjalani hukuman penjara meraih peningkatan kebaikan dengan memperbanyak ibadah.
“Karena dengan di penjara ini, banyak dosa kita yang dihapus oleh Allah. Kita tebus kesalahan-kesalahan selama ini melalui pemenjaraan ini. Sedangkan jika kita telah dipanggil ke pangkuan Ilahi Rabbi, tak ada kesempatan lagi untuk menebus dosa dan salah-salah kita. Itu sebabnya, saya mengajak kita untuk tetap bersyukur dan berbahagia atas kenikmatan menjalani kehidupan di penjara ini,” sambung ustadz Umar.
Tausiyah ustadz Umar berakhir saat waktu solat Isya datang. Kami pun langsung melaksanakan solat, dan setelahnya baru aku dan Rudy kembali ke kamar.
“Tumben sampai isyaan baru balik ke kamar, om?” sebuah suara menyapaku dari taman depan kamar. Ternyata sipir Arya tengah duduk disana.
“Oh kamu, Arya. Iya, tadi langsung baca yasin dan tahlilan. Doain ibu salah satu anggota majelis taklim yang siang tadi wafat. Kamu mau kopi,” sahutku, dan menyalaminya.
“O iya, aku denger juga kalau ada orang tua salah satu napi yang meninggal siang tadi. Boleh juga ngopi, om. Biar nambah segeran ini mata,” ujar sipir Arya.
Rudy bergerak cepat. Menyiapkan secangkir kopi untuk sipir muda yang sempat berselisih pendapat denganku beberapa hari lalu itu.
Seusai makan malam dan meminum kapsul cacing, aku keluar kamar. Duduk di taman depan sambil berbincang dengan sipir Arya.
“Mau tanya aja ini, om. Kata beberapa kawan sipir, selama ini pembawaan om selalu tenang dan enjoy, apa rahasianya,” kata sipir Arya, sambil sesekali menyeruput kopi manis dan menghisap rokok yang terjepit di jari tangannya.
“Sebenernya nggak gitu juga, Arya. Siapapun orangnya, setegar apapun dia, setangguh apa juga mentalnya, begitu masuk rutan pasti drop-lah. Bohong besar kalau ada yang bilang tetep nyaman dan enjoy-enjoy aja,” jawabku, dengan santai.
“Tapi, kenyataannya om kelihatan selalu tenang dan enjoy,” tanggapnya, dengan cepat.
“Semua kan berproseslah, Arya. Setelah melalui proses panjang yang penuh keterpurukan dan rasa keterhinaan lahir batin, perlahan baru bisa kelihatan yang kamu sebut tenang dan pembawaan enjoy itu,” kataku.
“Bisa nemuin ketenangan dan pembawaan enjoy itu karena apa, om?” tanya Arya lagi. Penasaran.
“Karena sudah berdamai dengan kenyataan, Arya. Intinya sih itu. Tentu ada keikhlasan secara batin juga. Emang kenapa, kamu kok tanya soal itu ke om,” lanjutku, seraya menatap wajahnya.
“Jujur ya, om. Aku lagi buat tesis untuk pendidikan S-2-ku soal menjaga mental tetap semangat dibalik kerasnya kehidupan penjara,” aku sipir Arya, kemudian.
“O gitu. Hebat kamu, Arya. Penelitianmu bisa langsung ke obyek sekaligus subyeknya. Cerdik kamu cari tema tesis,” sahutku, dan langsung menyalaminya. Menghargai kepiawaiannya menemukan penelitian dan kajian yang sangat jarang dilakukan orang.
“Tolong bantu ya, om. Aku yakin, om bisa kasih banyak data dan jadi referensi buat tesisku,” ucap sipir Arya.
“Inshaallah, Arya. Tesismu menarik dan eksklusif pastinya. Hebat kamu,” kataku lagi, mengakui kecerdikannya.
“Om yang hebat. Hidup di rutan tapi bawaannya tetep tenang dan enjoy,” kata Arya, balik memuji.
“Banyak hal yang sebenernya tertutup atau sengaja ditutup oleh penampilan dan pembawaan, Arya. Inilah uniknya kehidupan disini. Yang pasti, kita jangan pernah menyerah hanya karena satu episode buruk yang terjadi, terus aja melangkah. Karena kisah kita belum berakhir disini,” ujarku lagi.
Tampak sipir Arya tersenyum dan tangannya bertepuk pelan. Seakan mendapatkan siraman semangat untuk meneruskan rencananya membuat tesis mengenai kehidupan di rutan. Tempatnya bertugas sebagai sipir. (bersambung)
